M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat.
M Tata Taufik, Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat. (M Tata Taufik)

M Tata Taufik

Pimpinan Pondok Pesantren Modern Al-Ikhlash, Kuningan, Jawa Barat

17 Agustus, Mencari Penabuh Genderang Kebangsaan

M Tata Taufik • 16 Agustus 2023 08:33
PETIKAN syair "17 Agustus tahun 45, itulah hari kemerdekaan kita," terus dikumandangkan peserta Jambore Pramuka Dunia ke-25 di Korea Selatan. Syair dari lagu berjudul Hari Merdeka karya Husein Mutahar itu mengiringi derap langkah mereka menuju berbagai lokasi kegiatan. Di sini mereka menunjukkan kebanggaannya sebagai bangsa Indonesia.
 
Selanjutnya, lagu-lagu wajib silih berganti dinyanyikan mengiringi perjalanan mereka sambil mengibarkan Bendera Merah Putih. Sementara di kampung-kampung dan wilayah perdesaan, di setiap gang masyarakat sibuk membuat gapura. Dihiasi pula lampu warna-warni, umbul-umbul, dan bendera. Kreasi kebangsaan yang diekspresikan secara turun-temurun itu seperti menjadi semacam tradisi.
 
Istilah "tujuh belasan" atau "agustusan" menjadi festival rakyat. Mereka berbondong-bondong menuju kota kecamatan untuk menghadiri atau sakedar menonton upacara peringatan kemerdekaan yang diselenggarakan di alun-alun kecamatan atau di lapangan sepak bola. Berbagai kesenian dari desa pun mengiringi pasukan anak-anak dan pasukan sekolah yang berbaris rapi menuju tempat upacara.
 
Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia juga kerap diramiakan dengan lomba gerak jalan. Tentu saja para peserta harus menyisihkan waktu yang tak sebentar mempersiapkannya. Bunyi peluit sebagai tanda penyesuaian langkah kiri dan kanan kerap terdengar di berbagai pelosok mengiringi latihan gerak jalan tersebut. Ini benar-benar menggambarkan latihan kedisiplinan masyarakat, termasuk anak-anak sekolah, yang bersifat tahunan. Mereka semua seperti serempak menyongsong tujuh belasan atau agustusan.
 
Seiring dengan perkembangan, kini jarang ditemukan latihan-latihan kedisiplinan melalui baris berbaris yang dilakukan secara serentak dan melibatkan masyarakat luas. Perlombaan pun berubah menjadi lomba jalan santai. Entah apa yang melatarbelakangi perubahan itu. Suatu sikap “keseriusan” diubah menjadi “santai”. Siapa yang memulai perubahan ini pun tidak bisa diketahui dengan pasti.
 
Bagi yang pernah mengalami suasana tersebut, tentu akan merindu menyaksikan latihan baris berbaris untuk memeriahkan festival Hari Kemerdekaan yang diikuti oleh banyak orang. Anak-anak sekolah dibariskan kelas per kelas, demikian juga pasukan masyarakat dan aparat desa. Mereka antusias menghadiri upacara di kota kecamatan. Sungguh mengasyikkan sekaligus mengandung pendidikan kedisiplinan dan keteraturan.

Sosok penabuh genderang

Kalau dihubungkan dengan sikap dan persoalan kebangsaan yang muncul belakangan, boleh jadi karena kurangnya tontonan faktual dan keterlibatan masyarakat dalam mendisiplinkan diri termasuk anak-anak usia sekolah. Sehingga, tidak terbiasa mengikuti bunyi tiupan peluit sang komandan atau bunyi genderang yang ditabuh sebagai pedoman penyelarasan langkah.
 
Dalam bahasa kepemimpinan, John Adair menyatakan: Bila seseorang tidak melangkah sesuai dengan langkah barisannya itu, mungkin karena ia mendengar irama dari penabuh genderang lain.
 
Ya, persoalan penabuh genderang yang ditunggu itu kini menjadi sirna, tak kentara di mana dan siapa. Jika pada masa lalu seorang kepala dusun bisa mengajak kerja bakti masyarakatnya untuk memperbaiki parit atau saluran air dengan suka rela, kini tidak lagi bisa didengar. Jika menyaksikan sekolah dasar yang hampir ambruk pada masa lalu bisa diadakan gerakan swadaya perbaikan oleh masyarakat yang melibatkan warga dari berbagai dusun, kini jarang terdengar.
 
Persoalan ini boleh jadi disebabkan tidak adanya penabuh genderang yang bisa diikuti oleh langkah-langkah dalam barisannya. Atau hanya samar-samar terdengar. Nanti dulu, boleh jadi penyebabnya karena generasi sekarang tidak terbiasa berlatih menyamakan langkah dalam barisan dan lebih banyak mengikuti jalan santai, bahkan tidak juga ikut jalan santai karena tidak memiliki komunitas.
 
Tapi, asumsi di atas belum tentu benar jua. Sebab, bisa jadi terlalu banyak penabuh genderang yang sifatnya samar-samar. Janji-janji politik dari berbagai aktivis dan simpatisan partai yang banyak jumlahnya bisa membuat langkah dan tarian kian tak terarah.
 
Bunyi genderang yang pada awalnya nyaring ditabuh, sering kali memudar dan menjadi sayup-sayup terdengar setelah masa kampanye usai, kekuasaan telah diraih. Gambarannya seperti panjat pinang yang sering menghiasi peringatan Kemerdekaan 17 Agustus: saling menginjak untuk mencapai posisi teratas hingga bisa mengambil “hadiah” yang tersedia. Dengan badan berlumur pelumas oli, mereka bekerja sama untuk menyokong seseorang agar bisa menggapai hadiah, kemudian dibagi-bagi jika berhasil. Tak jarang juga memakai taktik menunggu, baru ikut serta memanjat tatkala pelumas atau hambatan sudah menipis, sehingga dengan mudah bisa mencapai puncak.
 
Apa pun persoalannya, kita sekarang membutuhkan penabuh genderang di setiap level sosial untuk menyamakan langkah menuju kemajuan bangsa yang besar ini. Diawali dengan menghidupkan kembali latihan baris berbaris yang rapi di sekolah maupun di masyarakat luas. Mungkin kita lalai dalam masalah ini. Kesempatan memperingati Hari Kemerdekaan bisa dijadikan titik tolak kebangkitan, mulai dari pembenahan sikap dan mental yang tangguh dengan berbagai kegiatan yang mengarah kepada pembentukannya. Siap gerak, maju jalan![]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Hari Kemerdekaan RI Agustus HUT Kemerdekaan RI

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif