Anggota kepolisian memperlihatkan barang bukti berupa sabu seberat 1,5 Kg dan pil exctasy sebanyak 2.021 butir beserta barang bukti lainnya di ruang pertemuan Polres Tarakan, Kalimantan Utara. (foto: Antara/Fadlansyah)
Anggota kepolisian memperlihatkan barang bukti berupa sabu seberat 1,5 Kg dan pil exctasy sebanyak 2.021 butir beserta barang bukti lainnya di ruang pertemuan Polres Tarakan, Kalimantan Utara. (foto: Antara/Fadlansyah) ()

Narkoba dan Keterlibatan Aparat

26 Februari 2016 19:30
Achmad Fauzi, Hakim Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
 

 
KABAR aparat tersandung kasus narkoba bukan berita baru di negeri ini.
 
TNI, Polri, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan (LP), dan pejabat lainnya pernah digelandang ke gelanggang hukum karena terjerat pikat narkoba. Bahkan, berita utama harian Media Indonesia (24/2) menduga semakin bertambahnya keterlibatan aparat dalam jejaring narkoba menunjukkan ambang kegagalan memerangi barang laknat itu.
 
Sebanyak 4.022,7 orang di seluruh Indonesia terindikasi menjadi pemakai narkoba. Ironisnya, lalu lintas penjualan barang haram itu justru dikendalikan dari balik LP.
 
Tidak perlu ditampik jika tingkat pengamanan LP masih dinilai lemah.
 
Sudah tak terhitung dengan jari lalu lintas peredaran narkoba yang dikendalikan dari balik jeruji.
 
Kabar mutakhir dua orang yang diduga pengedar narkoba diringkus aparat Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Jawa Barat.
 
Yang mengejutkan, bisnis haram itu diduga dikendalikan jaringan di lingkungan LP di Jabar.
 
Badan Narkotika Nasional (BNN) tentu semakin kesal dan geram melihat kuatnya jaringan narkoba di beberapa LP di Indonesia.
 
Saking geramnya, Kepala BNN Budi Waseso mengancam bakal melakukan upaya paksa dan menyerbu LP apabila upaya pemberantasan narkoba dihalang-halangi.
 
Kekesalan itu dilatarbelakangi penerapan prosedur keamanan di LP yang berstandar ganda.
 
Ketika BNN hendak memeriksa narkoba di LP, prosedurnya ketat dan berlapis sehingga kerap kehilangan target.
 
Namun, giliran benda-benda dilarang seperti narkoba dan alat komunikasi bisa masuk dengan mudah ke LP.
 
Masyarakat tidak terlalu terkejut jika jaringan narkoba diotaki para bandar dari dalam LP karena kasus peredaran narkoba yang melibatkan sipir sudah menjadi persoalan klise yang hingga kini tak kunjung berakhir.
 
Benteng jeruji yang dibangun kukuh dengan dalih penjagaan superketat akhirnya tak lebih rapuh dari jaring laba-laba.
 
Saat ini perang melawan narkoba sudah gila-gilaan karena mendapat perlawanan terbuka dari para bandar.
 
Dalam upaya penggerebekan sarang narkoba di kawasan Matraman, Jakarta Timur, misalnya, sejumlah polisi justru dikeroyok kawanan sindikat narkoba hingga berujung tewasnya Bripka Taufik Hidayat.
 
Polisi nahas itu memilih menceburkan diri ke Kali Ciliwung setelah sempat diamuk massa.
 
Lantas mengapa LP tak memiliki tekad kuat memerangi narkoba?
 
Polisi, jaksa, dan hakim telah berusaha keras menunjukkan peran masing-masing dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga vonis pidana mati terhadap para bandar narkoba.
 
Presiden Joko Widodo juga telah menunjukkan komitmennya mengeksekusi mati beberapa narapidana narkotika.
 
Sebanyak 64 terpidana mati kasus narkotika bahkan tinggal menunggu giliran dieksekusi.
 
Namun, peredaran barang haram di LP tak kunjung surut.
 
BNN pernah melaporkan seorang terpidana mati kasus narkoba asal Nigeria leluasa menjadi pengendali peredaran narkotika kendati tengah meringkuk di LP Pasir Putih, Nusakambangan.
 
Logika awam tentu ganjil melihat peristiwa tersebut.
 
Bagaimana mungkin orang yang sudah dibatasi ruang geraknya oleh hukum masih bisa 'mengepakkan sayap' kejahatannya dengan dunia luar? Ada apa gerangan di balik ini, Pak Menteri Hukum dan HAM?
 
Di usia yang genap 70 tahun, Republik ini tentu amat terpukul karena LP masih berselimut persoalan narkoba.
 
Alih-alih keberadaannya mampu menyadarkan narapidana, membersihkan ponsel dari dalam penjara saja tidak mampu.
 
Screening pengunjung katanya superketat.
 
Nyatanya aturan ketat itu diterapkan parsial.
 
Padahal, kedudukan LP dalam konteks pembaruan penjara sangat penting dan strategis.
 
Perubahan nomenklatur penjara menjadi pemasyarakatan dan penyebutan orang di penjara yang semula orang hukuman diubah menjadi narapidana tentu bukan tanpa tujuan.
 
Secara substansial, itu menyangkut sistem penyelenggaraan pemasyarakatan.
 
Warga binaan melalui LP diharapkan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, dan memperbaiki diri sehingga dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat.
 
Reformasi LP
 
Sudah banyak sipir yang dipecat gara-gara berselingkuh dengan uang. Mereka tak berdaya disogok rupiah agar lalu lintas bisnis narkoba yang melibatkan napi berjalan mulus.
 
Peristiwa memalukan itu merupakan puncak gunung es yang memerlukan reformasi kelembagaan agar khitah LP yang telah digariskan undang-undang benar-benar dilaksanakan.
 
Beberapa persoalan yang terjadi di LP harus segera dibenahi.
 
Perlakuan antarnapi yang diskriminatif, misalnya, harus dihapuskan.
 
Jasa sewa kamar dengan fasilitas mewah untuk narapidana berduit, praktik jual-beli pulsa telpon seluler, jadi kurir narkoba, hingga pungutan liar harus diberantas.
 
Begitu pula kapasitas LP yang kelebihan penghuni hendaknya menjadi perhatian pemerintah untuk segera dibenahi.
 
Suasana sesak kini dialami hampir seluruh LP di Indonesia. Para penghuni LP kurang diperhatikan kebutuhan fisik dan mentalnya sehingga LP seperti tempat menimba ilmu kejahatan.
 
Ketika napi bebas, semakin lihai dan cenderung mengulangi kejahatannya.
 
Dengan mengamati berbagai persoalan tersebut, ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan.
 
Pertama, pembenahan sumber daya manusia. Merebaknya praktik sogok dan keterlibatan sipir dalam bisnis narkoba ialah cermin buruknya mental aparat.
 
Kaitan dengan itu, fokus pembinaan mental tidak hanya kepada warga binaan, tetapi juga harus menyentuh aparatnya.
 
Tes urine harus simultan dilakukan agar seluruh petugas LP dipastikan steril dari narkoba.
 
Selain sebagai bagian dari bentuk pengawasan tes urine menjadi komitmen Kementerian Hukum dan HAM membersihkan oknum pegawainya dari jejaring narkoba.
 
Jika ada oknum yang positif menggunakan narkoba, hukuman pemecatan sangat layak dijatuhkan agar memberikan konsekuensi efek jera bagi yang lainnya.
 
Kedua, kebutuhan jumlah petugas LP juga perlu diperhatikan. Manajemen dan penjagaan LP berkaitan langsung dengan ketercukupan sumber daya manusia.
 
Kasus pelarian napi LP yang makin meningkat salah satu sebabnya ialah rasio jumlah sipir dengan narapidana tidak sebanding.
 
Satu sipir mengawasi lebih dari 50 napi dengan karakter bermacam-macam. Beban yang berat tersebut jika dipikul terus-menerus tanpa ada jalan keluar sangat rawan menimbulkan depresi.
 
Sebagai studi perbandingan, penjara di Amerika pernah mengalami krisis pengamanan serupa sehingga para napi bertindak brutal dan lari dari penjara.
 
Pejabat National Association of Probation akhirnya mengusulkan penjara tersebut diprivatisasi dan tiap 100 napi mendapat pengamanan maksimal dari 25 pengawas.
 
Indonesia bisa mengadopsi spirit konsep pengamanan tersebut.
 
Petugas LP perlu ditambah dan diisi orang yang berintegritas dan punya semangat juang tinggi.
 
Ketiga, terkait dengan politik anggaran. Gaji sipir perlu ditingkatkan.
 
Penghasilan memang tidak memiliki korelasi langsung dengan pembentukan integritas. Sebesar apa pun gaji sipir, jika mentalnya buruk, praktik 'main mata' dengan napi tetap merajalela.
 
Namun, tak dimungkiri gaji kecil sangat potensial membuka peluang bagi petugas LP untuk melakukan tindakan penyimpangan.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase narkoba

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif