Dewan direksi yang diperkenalkan presiden adalah Ridha DM Wirakusumah (Dirut Bank Permata) sebagai CEO; Arief Budiman (mantan Direktur Keuangan Pertamina) sebagai deputy CEO; Stefanus Ade Hadiwidjaja (Managing Director of Creador) sebagai chief investment officer; Marita Alisjahbana (Country Risk Manager Citi Indonesia) sebagai chief risk officer; dan Eddy Porwanto (eks Direktur Keuangan PT Garuda Indonesia Tbk/GIAA) sebagai chief financial officer.
Para dewan direksi ini adalah orang-orang sangat berpengalaman dan berintegritas tinggi pilihan Dewan Pengawas LPI. Dewan Pengawas LPI sendiri sudah dilantik Presiden Jokowi pada Januari 2021 lalu. Mereka adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai ketua merangkap anggota; Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir sebagai anggota; Darwin Cyril Noerhadi sebagai anggota; dan Yozua Makes sebagai anggota. Dewan pengawas dan dewan direksi inilah the dream team LPI.
Bagi Indonesia, masuk daftar negara yang memiliki SWF adalah impian panjang yang akhirnya menjadi kenyataan. Berfondasikan Omnibus Law dan PP/73/ 2020 tentang LPI, Lembaga ini digadang-gadang menyusul sepak terjang SWF kelas dunia, seperti SWF Singapura (Temasek, GIC), Malaysia (Khazanah), China (CIC), Uni Emirat Arab (ADIA, EIA, MIC), Korea Selatan (KIC), hingga Norwegia (GPF). SWF di negara-negara tersebut, terutama di Asia, terbukti sukses menjadi salah satu lokomotif kemajuan negara dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang sangat strategis.
Temasek Singapura misalnya, pada 2021 ini sudah memilik aset USD453 miliar atau sekitar Rp6,3 ribu triliun. Ditambah aset GIC (Government of Singapore Investment Corporation) sebesar USD417 miliar atau sekitar Rp 5,8 ribu triliun. Maka, total aset SWF yang dimiliki Singapura mencapai sekitar Rp12 ribu triliun (Data: SWF Institute –SWFI).

Dengan aset jumbo tersebut, Temasek sebagai entitas bisnis milik pemerintah Singapura, memiliki nama besar di mata investor global. Temasek leluasa bekerja sama dengan investor mana pun untuk proyek-proyek strategis di berbagai belahan dunia yang menguntungkan pemerintah Singapura.
LPI sendiri didirikan dengan modal Rp75 triliun. Rinciannya, sebanyak Rp15 triliun dari APBN dan sisanya disetorkan bertahap sampai akhir 2021. Memang masih kecil kekuatan LPI, tapi Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim investor global sudah antre untuk berinvestasi di LPI. Beberapa di antaranya adalah Japan Bank for International Cooperation (JBIC), CDPQ Kanada, dan APG-Netherland Belanda. Total komitmen investasi mencapai USD9,5 miliar atau sekitar Rp133,03 triliun.
Antusiasme investor terhadap bayi ajaib bernama LPI ini tentu beralasan. Selain ditargetkan membiayai proyek ‘idola’ di Indonesia saat ini, yaitu proyek infrastruktur, LPI sudah menjadi idola investor yang sebelumnya sudah nyaman bekerja sama dengan BUMN di Indonesia.
Calon investor ini tentu saja sudah memiliki gambaran yang lebih utuh. Bahkan, dalam versi yang lebih prudent, LPI langsung dikontrol Menteri Keuangan dan berada di bawah tanggung jawab langsung Presiden RI.
BUMN di Indonesia sebenarnya adalah raksasa yang lebih besar asetnya dibandingkan Temasek Singapura. Total, aset BUMN Indonesia per Desember 2020 mencapai Rp8.400 triliun (sumber: Direktorat Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI). Ini berarti aset total seluruh BUMN di Indonesia Rp2.000 triliun lebih besar dibandingkan Temasek Singapura (Rp 6.300 triliun).

Namun, BUMN di Indonesia belum sesolid Temasek. Aset BUMN yang lebih besar dari aset Temasek itu tersebar di 107 perusahaan BUMN (sumber: Kementerian BUMN 2020). Sedangkan Temasek sudah menjadi 1 perusahaan tunggal (holding) miliki pemerintah Singapura. Kelebihan Singapura tentu karena keberadaan GIC dengan total aset senilai Rp5,8 triliun, sehingga total aset SWF Singapura mencapai Rp12 ribu triliun.
Jangan khawatir, Indonesia berpeluang besar memiliki “rumah bersama” SWF yang lebih digdaya. Ini sama dengan di negara lain. Berbagai platform SWF bisa berdiri bersamaan. Itu terjadi jika suatu saat telah ada payung hukum konsolidasi LPI – holding BUMN – Pusat Investasi Pemerintah (PIP) – Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Jika sinergi LPI, holding BUMN, PIP, dan SMI terwujud, maka Indonesia bisa memiliki kerangka SWF yang sangat besar kekuatannya.
Pelajaran dari SWF Malaysia tersandung kasus 1MDB
Ada hal yang menarik usai nama-nama Direksi LPI diperkenalkan oleh Presiden Jokowi. Acara dilanjutkan dengan temu wartawan secara daring dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai ketua Dewan Pengawas LPI. Di antara pertanyaan tersebut adalah bagaimana LPI menghindari kejadian seperti kasus penyelewengan SWF Malaysia oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, yang kemudian dikenal dengan skandal 1 Malaysia Development Berhad (1MDB).Menkeu sebagai ketua Dewan Pengawas LPI dengan nada tegas menjawab dirinya sudah bekerja keras dengan Menteri BUMN Erick Thohir. Terutama dalam meneliti secara ketat track record semua kandidat dewan direksi. Mereka diseleksi berdasarkan kapasitas dan integritas dengan standar tertinggi. Menkeu meyakini Dewan Direksi LPI akan bekerja secara prudent.
Bicara SWF, memang skandal 1MDB selalu menarik perhatian publik. Di tengah trengginasnya sepak terjang Khazanah sebagai SWF Malaysia mencaplok perusahaan-perusahaan di dunia, termasuk membeli perusahaan di Indonesia, tiba-tiba PM Najib mendirikan SWF baru pada 2009. SWF baru ini bernama 1MDB (1 Malaysia Development Berhad) dengan tujuan investasi di bidang energi di seluruh dunia.
Entah kenapa PM Najib pilih vehicle baru di luar Khazanah untuk membangun Malaysia. Namun yang pasti, muncul skandal transfer dana 1MDB ke rekening pribadi pejabat negara Malaysia, termasuk PM Najib hingga mencapai USD4,5 miliar atau sekitar Rp 63 triliun (Sumber: US Department of Justice/ Kementerian Kehakiman AS).
Kesimpulan utama atas munculnya skandal 1MDB Malaysia adalah isu tranparansi. Tidak adanya audit yang kredibel atas investasi 1MDB menyebabkan terbukanya peluang abuse of power dalam berbagai bentuk oleh siapa pun yang berwenang (Sumber: ICA, International Compliance Association).
Nah, belajar dari kasus 1MDB Malaysia inilah, Omnibus Law/UU Cipta Kerja sudah menyiapkan strategi yang sangat taktis untuk menangkal hanky panky di LPI. Yaitu, menempatkan transparansi sebagai fondasi LPI. Pasal 161 UU Ciptaker menempatkan akuntan publik independen yang terdaftar di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor LPI. Auditor kelas dunia inilah yang akan menjamin terjaganya transparansi dan integritas LPI dari terjadinya kongkalikong.
Selain fondasi hukum yang sangat kuat, the dream team yang menggerakkan LPI juga bukan sosok sembarangan. Mulai dari sosok Ketua Dewan Pengawas LPI Sri Mulyani yang bereputasi global hingga jajaran Dewan Direksi LPI pilihan Sri Mulyani yang telah teruji di bidangnya masing-masing.
Ini semua menjadi landasan keyakinan kita bahwa LPI akan beroperasi secara profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai good corporate governance. Kepada LPI, selamat bertempur di pentas dunia menyusul Temasek dan Khazanah.
*Win Muhammad Adab adalah jurnalis senior Medcom.id
