SABAN hari, mungkin setiap jam layar sejumlah televisi, dan media sosial (Youtube, Instagram, dan Tik-Tok) menampilkan sosok anak usia 15 tahun yang bernama Fajar Sadboy. Nama aslinya Fajar Labatjo asal Provinsi Gorontalo. Para pesohor seolah berebut dirinya untuk diwawancarai, seperti Denny Cagur, Atta Halilintar, Ria Ricis, Eko Patrio, Vicky Prasetyo, vokalis Anji, dan sebagainya.
Penampilannya lugu, datar, dan jarang tersenyum, apalagi tertawa. Dia tak segan mengeluarkan air mata saat mengisahkan kisah asmaranya yang kandas dari gadis pujaannya. Ketika diwawancarai, anak yang baru duduk di kelas sembilan sekolah menengah pertama ini sering kali memberikan jawaban nyeleneh, tak terduga, dan tak masuk akal, tetapi terkadang nyambung, bahkan merangkai kata-kata romantis nan indah.
Kemunculan Fajar membuktikan the power of social media. Namanya melambung ketika kesedihannya ditinggal sang pacar direkam rekannya kemudian ditayangkan di Tik-Tok. Kesedihan yang diwarnai cucuran air mata sehingga bergelar Sadboy. Video di Tik-Tok langsung beredar luas di media sosial hingga ditonton jutaan orang. Luar biasa.
Tak ada yang istimewa. Bahkan, sejumlah orang merasa jengkel dengan ditampilkannya anak ketiga dari empat bersaudara ini karena dianggap tidak mendidik, mengumbar kesedihan lantaran gagal menjalin kisah-kasih dengan dambaan hatinya. Namun, sebagian warganet menganggapnya wajar karena menghibur. Kehidupan sejatinya seperti itu. Ada yang suka, ada pula yang tidak suka.
Permasalahan akan muncul ketika sejumlah televisi mengeksploitasi sosok Fajar Sadboy. Pasalnya, televisi-televisi tersebut menggunakan frekuensi milik publik. Televisi yang merupakan bagian dari media massa memiliki tanggung jawab kepada masyarakat sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Selain itu, lembaga penyiaran memiliki kebebasan dan tanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol sosial.
Pasal 3 UU tersebut menyatakan bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.
Melihat silang pendapat di masyarakat terkait dengan tayangan Fajar Sadboy di televisi, Komisi Penyiaran Indonesia yang diberikan amanah oleh UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tak boleh tinggal diam. KPI harus menyikapinya sesuai Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012. Ada atau tidaknya pelanggaran dalam program hiburan di televisi dengan menampilkan Fajar Sadboy dan mantan pacarnya perlu disampaikan KPI sehingga industri pertelevisian bisa mengetahui rambu-rambu yang harus dipatuhi. Begitu pula masyarakat bisa mengetahui apa saja yang boleh dan tidak boleh ditayangkan di televisi.
Seiring mencuatnya Fajar di media sosial dan televisi bermunculan pula video-video fajar sejak masih kecil di kampungnya dalam berbagai kesempatan. Remaja itu memang memiliki bakat sebagai penghibur. Fajar pintar berekspresi, menyusun kata-kata puitis, bahkan tausiah. Menurut Piaget, anak adalah pembelajar aktif yang membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya yang berarti (Essa, 2014:126). Artinya, Fajar Sadboy atau siapa pun anak yang berpotensi hendaknya diberikan ruang ekspresi, produktif berkarya, dan menginspirasi bagi anak-anak lainnya. Tabik!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Ade Alawi
Dewan Redaksi Media Group