Foto: Branda Antara
Foto: Branda Antara (Syahganda Nainggolan)

Syahganda Nainggolan

Peneliti di Sabang Merauke Circle

Surya Paloh dan Anies Baswedan Bukan Pengkhianat

Syahganda Nainggolan • 01 September 2023 11:36
BANYAK sekali pertanyaan masuk ke saya tentang bakal calon presiden Anies Baswedan, benarkah dia pengkhianat? Atau melakukan pengkhianatan dalam perjuangannya? Bagaimana dia mau mengusung tema perubahan kalau dia sendiri karakternya khianat?
 
Pertanyaan-pertanyaan di atas terkait dengan berbagai pemberitaan adanya kesepakatan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar untuk membangun aliansi memenangkan Anies Baswedan pada Pemilihan Presiden 2024.
 
Kesepakatan ini, menurut Partai Demokrat, melanggar kesepakatan tertulis dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) tentang kriteria pendamping Anies. Juga disebut melanggar kesepakatan tidak tertulis bahwa Anies sudah menyampaikan kepada Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan petinggi parpol koalisi bahwa Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah pendamping dia ke depan.

Apakah benar Anies pengkhianat?

Partai Demokrat tentu saja boleh marah dengan langkah politik terbaru yang dilakukan sepihak oleh Surya Paloh. Namun, sebuah kemarahan harus ditempatkan dalam "circumstance" politik yang ada, sebuah lingkungan politik bejat dan penuh ancaman. Pada konteks yang tepat, tentu sebuah langkah "sampul" dari sebuah koalisi bisa dimengerti dalam kecanggihan desain dan strategi.
 
Tiga hal berikut ini perlu menjadi pertimbangan agar Koalisi Perubahan untuk Persatuan tetap bersatu dan terus membangun soliditas. Pertama, langkah politik oposisi dalam membangun poros perubahan adalah untuk mendukung perubahan itu sendiri. Perubahan itu utamanya ada pada Anies Baswedan sebagai calon presiden.
 
Sedangkan parpol pendukung Anies dapat bermanuver di antara isu perubahan (oposisi) dan mendukung pemerintah atau kebijakannya. NasDem, meskipun secara terbuka mengatakan kehilangan harapan pada Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun Indonesia yang maju dan berkeadilan sebagaimana diutarakan Surya Paloh di Apel Akbar Nasdem pada 16 Juli lalu di Stadion Gelora Bung Karno, tetap saja melakukan langkah-langkah "dua kaki" terhadap Jokowi.
 
Demokrat sendiri, ketika dihantam "Istana" terkait pengambilalihan paksa partainya oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, tidak menghujat Jokowi. Demokrat hanya menyasar Moeldoko. Bahkan, di saat yang sama, Demokrat mendukung pemindahan ibu kota IKN ke Kalimantan.
 
Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipastikan, jika NasDem dan parpol pendukung lainnya tetap mendukung Anies, tidak terjadi pengkhianatan atas cita-cita perubahan. Justru, jikalau parpol pendukung Anies pindah haluan mendukung capres lainnya, itu yang disebut sebagai pengkhianatan.

Demokrasi barbar

Kedua, dalam circumstances atau ruang politik yang kotor serta penuh kekejian, segala sesuatu memang tidak dapat diungkapkan lebih awal. Hanya beberapa jam setelah Anies diumumkan NasDem sebagai capres, Golkar atau Airlangga misalnya, berusaha memberikan sinyal untuk berkoalisi.
 
Begitu juga ketika apel akbar NasDem di GBK, petinggi Golkar menghadiri acara tersebut. Terakhir saat kabar berkembang tentang adanya pertemuan Anies dan Airlangga secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya kita ketahui bersama Airlangga hampir digulingkan oleh kekuatan-kekuatan anti-perubahan yang berkuasa.
 
Demokrasi yang kita hadapi saat ini adalah demokrasi barbar. Kekuasaan Jokowi berusaha mengontrol arah kekuasaan ke depan dengan alasan keberlanjutan pembangunan. Meskipun mungkin mayoritas rakyat lebih percaya cawe-cawe Jokowi lebih kepada kepentingan dirinya sendiri dan anak mantunya. Faktanya Jokowi mampu memainkan peranan besar dalam mendukung arah koalisi parpol-parpol.
 
Dalam situasi seperti ini, sesungguhnya kita harus melihat manuver NasDem yang berhasil merangkul Muhaimin dan PKB-nya--sebuah partai yang berbasis Nahdatul Ulama--adalah keberhasilan besar. Kenapa? Karena meyakinkan Muhaimin untuk tidak takut dikriminalisasi oleh kekuatan rezim Jokowi adalah pekerjaan berat.
 
Ini hanya mungkin bisa karena dalam diri Muhaimin juga ada bibit keberanian. Dan ini berasal dari sejarah Muhaimin sebagai aktivis gerakan prodemokrasi di era Orde Baru.
 
Sebagai catatan, untuk yang tidak mengikuti sejarah Surya Paloh, perlu saya sampaikan sedikit tambahan bahwa Surya Paloh juga termasuk sosok kritis terhadap Orde Baru. Surya Paloh dibantu oleh Todung Mulya Lubis sering mengumpulkan aktivis anti Orde Baru di kantornya. Saya pun pernah diundang.
 
Surya Paloh pernah mendirikan media oposisi, Prioritas, di era Presiden Suharto. Pada satu kesempatan, Kepala Badan Intelijen TNI (BAIS) Syamsir Siregar, sebagaimana diceritakan kepada saya, pernah diperintahkan Panglima ABRI/TNI Faisal Tanjung untuk menangkap Surya Paloh atas kejahatan melawan Suharto. Untung Syamsir Siregar memberi "pintu damai" kepada Surya Paloh. Dengan sosok seperti ini, tentu saja Surya Paloh boleh merasa paling senior dalam urusan demokrasi dan kebebasan politik.
 
Penjelasan tentang situasi lingkungan politik yang ada seperti dijelaskan di atas tentu membuat kita mengerti adanya langkah-langkah strategis yang tidak semuanya harus dijelaskan di depan. Memang, tentu saja perlu dijelaskan kemudian. Agar mitra koalisi dapat mengerti.
 
Pernyataan terbaru dari Surya Paloh di berbagai media menyebutkan bahwa "Anies-Muhaimin" belum diformalkan. Ini tentu menjadi penjelasan yang baik bagi soliditas ke depan.

Kemenangan kaum perubahan

Ketiga, argumentasi penting ketiga adalah kemenangan kaum perubahan. Sebagai tokoh reformasi dan tokoh Islam, Anies telah menempatkan dirinya sebagai sosok pemimpin kharismatik yang mampu mendominasi semua capres kompetitor. Namun, dengan koalisi ramping yang tersedia, Anies masih ketinggalan dalam elektabilitas di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
 
Berbagai survei menunjukkan Anies mengalami ketertinggalan akibat peta sosiologis kita terbelah. Anies menguasai "Islam Identitas", Ganjar menguasai "Nasionalis Sekuler" dan Prabowo atas dukungan Muhaimin/PKB, mendominasi komunitas "Islam Tradisional".
 
Dalam situasi demikian, Anies bisa saja bertahan dalam perang segitiga kekuatan sosiologis masyarakat kita. Tapi, apakah kita tidak merasa lebih baik ketika kekuatan Islam tradisional, setidaknya dalam naungan PKB, berbagi masa depan dengan pendukung Anies?
 
Tentu saja ada keraguan arah perubahan dengan masuknya Muhaimin/PKB dalam poros perubahan. Namun, jika Anies-Muhaimin menjadi pasangan, tentu arah perubahan tetap terjadi. Oleh karena itu, Muhaimin dan barisannya adalah bagian dari sejarah panjang perjuangan bangsa kita.

Kesalahan fatal istilah pengkhianatan

Saya telah berpartisipasi dalam menuangkan pikiran ini untuk meluruskan isu-isu pengkhianatan. Menyebutkan pengkhianat atau pengkhianatan adalah kesalahan besar jika itu terus dipertahankan.
 
Kita melihat beban sejarah yang dipikul pengusung perubahan sudah demikian besar. Seringkali persoalan strategis menjadikan komunikasi antarkelompok terganggu.
 
Surveillence atau pengintelan terjadi di mana-mana. Kekuasaan berusaha mendominasi semua ruang publik dan ruang politik yang ada. Sebuah strategi hanya bisa berjalan kalau ada kepercayaan. Sebuah pengkhianatan hanya bisa dikatagorikan valid atau absah jika NasDem atau parpol pendukung lainnya meninggalkan Anies.
 
Kehadiran Muhaimin Iskandar dalam jajaran koalisi pendukung Anies Baswedan harus dimaknai sebagai keberhasilan merangkul lawan, menjadi teman. Apalagi Muhaimin membawa gerbong besar, kaum Nahdlatul Ulama. Sebaiknya kita menyebutkan "Ahlan Wa Sahlan Muhaimin Iskandar". Mari bersama menyongsong perubahan.[]
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Surya Paloh Anies Baswedan Pilpres 2024

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif