Saldi Isra (foto: MI/Mohamad Irfan).
Saldi Isra (foto: MI/Mohamad Irfan). ()

Manuver di Penghujung Tahun

30 Desember 2015 12:35
Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
 

 
MINGGU-minggu terakhir menuju penghujung 2015, Dewan Perwakilan Rakyat menjadi semacam arena pertunjukan berbagai macam manuver. Apakah manuver itu memutar-balikkan logika masyarakat, sama sekali tidak menjadi masalah penting yang perlu ditimbang dengan serius. Bahkan, jika manuver yang dilakukan potensial menggerus citra lembaga tempat mereka bernaung, bukanlah sesuatu yang harus dihitung secara cermat. Lebih daripada itu, manuver yang dilakukan seperti membuang jauh pakem atau logika hubungan dan batas wewenang lembaga negara.
 
Salah satu di antara manuver yang kita saksikan di DPR ialah ketidakjelasan soal penjatuhan sanksi terhadap Setya Novanto. Meskipun semua anggota Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) menyatakan tokoh berpengaruh Partai Golkar itu melanggar kode etik, putusan tersebut bukanlah sikap MKD sebagai sebuah institusi. Dalam posisi sebagai mahkamah penegakan etik, menjadi sulit diterima akal sehat proses persidangan selesai setelah setiap anggota membacakan pendapat masing-masing. Adakah sebuah mahkamah dikatakan selesai menjalankan tugasnya ketika pendapat akhir masih tercerai-berai berupa pendapat setiap anggota? Pascatugas yang tidak tuntas tersebut, Partai Golkar mempertontonkan betapa 'tipisnya' pemahaman partai berlambang pohon beringin itu atas pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya Novanto. Buktinya, ketika mayoritas anggota MKD menilai telah terjadi pelanggaran kode etik, Partai Golkar melakukan manuver dengan cara menempatkan Setya Novanto sebagai ketua fraksi. Boleh jadi, bagi Partai Golkar, sikap atau langkah mengundurkan diri dianggap sudah cukup untuk menyelamatkan DPR dari imbas skandal 'papa minta saham'. Padahal, meski fraksi bukan alat kelengkapan DPR, posisi baru Setya Novanto tak mungkin tidak berimbas pada citra DPR.
 
Ketika masih berupaya memahami manuver itu, kita dikagetkan lagi dengan 'rekomendasi sementara' Panitia Angket Pelindo II. Kesan manuver menjadi sulit dihindari karena pansus masih jauh untuk dapat dikatakan telah menyelesaikan tugas, tapi tiba-tiba muncul dalam sidang paripurna dengan rekomendasi yang seolah-olah pansus telah selesai. Padahal, sebagaimana diatur Pasal 207 UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3), ada fase yang harus dilewati sebelum panitia angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR. Manuver menjadi begitu terasa karena rekomendasi sementara tersebut masuk ke wilayah yang bukan merupakan wewenang DPR.
 
Intervensi Presiden
 
Bagi saya, manuver berupa rekomendasi sementara Panitia Angket Pelindo II menjadi sangat menarik. Sebagaimana ditulis Refly Harun (Media Indonesia, 28/12), ketika tidak adanya pernyataan dari pansus bahwa pekerjaan telah selesai, berarti tugas panitia angket belum tuntas. Karena itu, laporan kepada rapat paripurna DPR 18 Desember lalu tersebut bukanlah laporan akhir, melainkan laporan sementara. Dalam posisi demikian, bila pun akan mengambil momentum 'hadir' dalam paripurna DPR, laporan sementara tidak mengarah pada kesimpulan. Pemahaman atas batasan itu diperlukan karena UU MD3 sama sekali tidak mengenal rekomendasi sementara.
 
Selain itu, pansus dalam proses menyelesaikan tugas mereka, sadar atau tidak, telah merambah jauh ke dalam wilayah yang sesungguhnya bukan merupakan domain DPR, apalagi domain pansus. Celakanya, tindakan salah pansus justru seperti diterima menjadi sebuah langkah yang benar. Pembenaran tersebut dapat dilacak dengan penyampaian rekomendasi sementara Panitia Angket Pelindo II dari pimpinan DPR kepada Presiden Joko Widodo. Pertanyaannya, bagaimana mungkin sesuatu yang belum final disampaikan kepada pihak lain (baca Presiden) untuk ditindaklanjuti?
 
Karena bukan berasal dari proses yang diatur UU MD3, tidaklah keliru jika banyak pandangan yang mengatakan bahwa rekomendasi tersebut sangat terkait dengan isu perombakan kabinet yang tengah berhembus kencang. Bila benar, sangat mungkin ada langkah politik menunggangi kerja panitia angket sebagai instrumen menekan presiden dalam perombakan kabinet. Padahal, dengan langkah itu, sebagian kekuatan politik sedang memorak-porandakan logika pola relasi DPR-Presiden di dalam sistem presidensial.
 
Dalam batas penalaran yang wajar, manuver berupa rekomendasi sementara tersebut tak sebatas memorak-porandakan logika sistem presidensial, tetapi juga menghancurkan logika dan etika hubungan DPR dan Presiden. Misalnya, dalam UUD Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), relasi tarik-menarik dimungkinkan dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Pola demikian sangat mungkin terjadi karena konstitusi kita meletakkan hubungan yang setara antara DPR dan presiden dalam pembentukan undang-undang. Paling tidak, hubungan yang demikian dapat dilacak dari konstruksi Pasal 20 UUD 1945.
 
Meskipun dalam banyak masalah bernegara Presiden tidak mungkin menutup mata dengan suara-suara di DPR, konstitusi memberi demarkasi sangat tegas ihwal kewenangan lembaga negara. Dalam soal pengisian anggota kabinet, misalnya, Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan otoritas Presiden. Artinya, ketika Panitia Angket Pelindo II memberikan rekomendasi untuk memberhentikan menteri kabinet, panitia angket gagal memahami makna hakiki Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Kegagalan untuk memahami tersebut kian terasa inkonstitusional karena dalam sebuah rekomendasi yang berasal dari proses yang belum selesai. Bahkan, kalaupun sudah pendapat final, panitia angket tidak tepat memasuki wilayah yang menjadi hak prerogatif Presiden.
 
Sekadar perbandingan, Pansus Hak Angket Century, misalnya, sekalipun telah melalui proses yang sesuai dengan ketentuan yang ada, hasil akhirnya tidak sampai masuk ke wilayah yang menjadi wewenang Presiden. Pansus Century hanya sampai pada rekomendasi melanjutkan segala bentuk penyimpangan ke proses hukum. Merujuk pengalaman itu, rekomendasi Panitia Angket Pelindo II sangat janggal dan tidak mungkin jauh dari maksud mengintervensi Presiden Joko Widodo dalam pusaran perombakan kabinet.
 
Oleh karena itu, agar tidak menambah kontroversi baru dan sekaligus langkah guna menghentikan segala macam manuver di sekitar perombakan kabinet, Presiden Joko Widodo tidak perlu terpengaruh dengan rekomendasi tersebut. Kalau sekiranya melakukan perombakan kabinet memang menjadi kebutuhan, Jokowi harus menjaga makna hak prerogatif dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. Jika tidak, manuver dengan menunggangi instrumen seperti pansus akan menjadi modus baru. Karena itu, pilihan presiden amat terbatas: takluk dengan manuver atau menganggapnya seperti angin demi menjaga hak prerogatif Presiden. Semoga Jokowi tidak takluk dengan manuver di penghujung 2015.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase dpr

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif