Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id (Media Indonesia)

Editorial Media Indonesia

Blunder, tapi Jangan Mundur

Media Indonesia • 29 Juli 2023 10:34
OPERASI tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap sejumlah orang terkait dugaan korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) berbuntut panjang. KPK menetapkan Marsekal Madya Henri Alfiandi dan anak buahnya, Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letnan Kolonel Arif Budi Cahyanto sebagai tersangka.
 
Henri diduga menerima suap hingga Rp88,3 miliar dari beberapa proyek di Basarnas sejak 2021 hingga 2023. Selain Henri dan Arif, KPK menetapkan tiga orang dari pihak swasta yang mengikuti tender elektronik abal-abal pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas.
 
OTT dan penetapan tersangka perwira tinggi dan perwira menengah TNI dalam kasus korupsi di Basarnas membuat berang Markas Besar TNI Cilangkap. Sejumlah pejabat tinggi TNI yang dipimpin Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko mendatangi Gedung Merah Putih lembaga antirasuah. Seusai pertemuan, pimpinan KPK dan pimpinan TNI menggelar konperensi pers bersama.
 
Menurut Danpuspom Marsekal Muda Agung Handoko, TNI memiliki hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Pihak militer juga menggunakan Pasal 9 ayat 1 UU No 31/1997 yang pada dasarnya menegaskan bahwa peradilan yang berwenang mengadili prajurit TNI yang melakukan tindak pidana ialah Peradilan Militer. KPK dinilai melanggar prosedur saat menetapkan Henri dan Arif sebagai tersangka. Seharusnya, menurut Handoko, KPK dan Puspom bisa berbagi kewenangan dengan memberi tahu informasi jika mau menangkap dan memproses hukum perwira TNI aktif. Bila melihat argumentasi dari pihak TNI, pimpinan KPK bagai tertampar. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pun meminta maaf dan mengakui ada kekeliruan terkait proses hukum dugaan korupsi yang melibatkan Henri dan Arif. Johanis mengakui pihaknya tidak koordinasi dengan Puspom TNI. Menurut Pasal 42 UU No 30/2002 tentang KPK bahwa lembaga ini berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
 
Sikap pimpinan KPK yang menyampaikan permohonan maaf sangat memalukan. Terlebih lagi pimpinan KPK menyalahkan anak buahnya, para penyelidik dan penyidik, yang melakukan kekhilafan. Padahal, OTT bukan pekerjaan sporadis dan grasah-grusuh, melainkan pekerjaan yang terencana, akuntabel, dan seizin pimpinan KPK. Kekonyolan pimpinan KPK saat ini sungguh tak bisa ditoleransi lagi. Sudah sepantasnya pimpinan KPK saat ini mengundurkan diri dari jabatan atau dipecat dari jabatan karena tidak becus bekerja dan diduga melanggar hukum dan etik.
 
Namun demikian, meskipun KPK secara prosedural salah, secara substansi baik KPK maupun TNI harus memandangnya dalam prespektif yang sama bahwa dugaan praktik lancung yang melibatkan perwira TNI di Basarnas harus diproses secara hukum hingga tuntas. Kedua lembaga ini harus memiliki komitmen yang sama bahwa korupsi ialah musuh bersama. Jika kedua perwira TNI tersebut tidak bersalah, pembuktiannya ialah secara hukum melalui pengadilan, bukan kongkalikong kedua lembaga negara tersebut. Meskipun KPK blunder, proses hukum kasus dugaan korupsi di Basarnas harus jalan terus.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar Basarnas KPK tni Kasus Suap

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif