Ekonom senior yang sangat kritis itu tentu tidak asal bicara. Ia menyebutkan pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia turun sangat drastis bahkan sebelum mencapai puncaknya. Pada 2001, kontribusi industri manufaktur Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) mencapai 29,1 persen. Namun, angka ini terus anjlok hingga 2022 yang hanya mencapai 18,3 persen.
Pada 2015, industri manufaktur berkontribusi 20,99 persen terhadap PDB. Akan tetapi, dalam kurun waktu empat tahun berturut-turut setelah itu (hingga 2019) turun menjadi 20,52 persen, 20,16 persen, 19,86 persen, dan 19,62 persen. Pada 2020, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB sedikit naik menjadi 19,88 persen.
Jika dibandingkan dengan negara lain, puncak pertumbuhan manufaktur mereka lebih tinggi daripada Indonesia. Industri manufaktur Tiongkok, yang selalu jadi barometer, berkontribusi terhadap ekonomi negara itu di level 40,1 persen. Kalaupun turun, tidak terlalu drastis. Kondisi serupa terjadi di Malaysia dan Thailand. Industri manufaktur mereka mampu menopang 31 persen terhadap PDB. Bahkan, saat ini kondisi pertumbuhan manufaktur mereka masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia yang terus menurun.
Industri kita baru berkontribusi 29 persen sudah turun. Harusnya naik lagi dan lagi, mengingat besarnya potensi Indonesia. Laju penurunannya pun terlalu cepat. Maka, Faisal menyebut situasi itu sebagai early sign of deindustrialization, alias gejala awal deindustrialisasi.
Industri di Tiongkok memang bakal turun. Tapi, ia sudah mencapai industri yang paripurna dulu baru turun. Malaysia sudah tumbuh 31 persen baru turun. Thailand juga sudah merasakan pertumbuhan industri manufaktur di angka 31 persen baru turun. Indonesia, belum sempat tumbuh 30 persen sudah turun.
Itu baru dari sisi pertumbuhan. Dari sisi kemampuan industri manufaktur, Faisal secara lugas menyebut kita baru unggul di kandang. Kita baru jadi jawara di dalam, belum mampu bersaing di kancah global. Ini bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan kondisi 17 sektor penopang perekonomian Indonesia.
Baca Juga:Indonesia Sulit Tumbuh Jika Porsi Impor Lebih Besar, Lalu Solusinya? |
Data itu merekam bahwa seluruh sektor yang tumbuh eksponensial di atas pertumbuhan Indonesia tahun 2022 yang 5,31 persen ialah sektor jasa. Adapun industri manufaktur dan pertambangan, pertumbuhannya berada di bawah itu.
Sektor jasa (misalnya sektor listrik dan jasa pemerintahan), pada umumnya tidak bisa diekspor. Ia kuat di dalam negeri. Padahal, untuk mendongkrak perekonomian Indonesia menuju negara maju, seharusnya sektor barang seperti pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur mesti didorong untuk bertumbuh lebih tinggi.
Sektor-sektor itulah yang memiliki nilai kompetitif, membuka banyak lapangan kerja formal, dan bisa menggenjot ekspor Indonesia. Sayangnya, nilai pertumbuhan sektor-sektor strategis itu masih setengah dari pertumbuhan di sektor jasa.
Padahal, Indonesia belum menjadi negara maju. Kita masih di level menengah. Kita masih sangat butuh pertumbuhan sektor manufaktur secara eksponensial. Negeri ini perlu kobtribusi kuat dari industri agar segera maju.
Saat ini, baru sektor penopang ekonomi, yakni sektor jasa, yang pertumbuhan dan kontribusinya sudah mirip negara maju. Tapi, jalan industri yang mengantarkan banyak negara menggapai kemajuan, di negeri ini tidak sepenuhnya berkembang mulus.
Pembangunan fisik memang tumbuh pesat. Itu terjadi karena nyaris seluruh sumber daya dan sumber dana dikerahkan total untuk proyek-proyek fisik. Tapi, kegencaran pembangunan fisik tersebut belum sanggup mendongkrak pertumbuhan manufaktur.
Itu karena pertumbuhan industri manufaktur tidak mendapat perlakuan setara. Dari total investasi yang masuk ke negeri ini, baru sekitar 11 persen yang diinvestasikan ke peralatan mesin industri, misalnya. Mayoritas diinvestasikan untuk pengembangan dan pembangunan fisik.
Padahal, tingkat laju penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian kita sudah di ambang bahaya. Ajakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segala sumber daya dan sumber dana dikerahkan besar-besaran untuk menyokong hilirisasi industri mestinya segera menjadi gerakan. Sama seperti saat Presiden mewujudkan gerakan mempercepat pembangunan infrastruktur.
Apa yang diteorikan ekonom John Maynard Keynes masih relevan untuk direnungkan. Kata Pak Keynes, campur tangan pemerintah diperlukan untuk menstabilkan 'kempis-kembangnya' siklus aktivitas ekonomi. Karena aktivitas industri manufaktur terus mengempis, saatnya pemerintah menginisiasi memompanya segera.