Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet)
Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group(MI/Ebet) (Ade Alawi)

Ade Alawi

Dewan Redaksi Media Group

Kampus Pilu

Ade Alawi • 08 Oktober 2024 08:10
Jakarta: Suasana duka menyelimuti sebuah kampus ternama di kawasan Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Sabtu, 5 Oktober 2024. Seorang mahasiswi ditemukan tewas di pelataran Gedung M Kampus 1. Korban berinisial E, 18, itu diduga tewas setelah melompat dari lantai 6 gedung kampus tersebut.
 
Tak hanya sivitas akademika kampus itu yang berduka. Kita pun berduka sekaligus miris dan bertanya-tanya, kenapa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa terjadi bertubi-tubi dalam tiga tahun terakhir.
 
Kiranya patut kita merenung, apa yang terjadi pada mahasiswa kita, generasi yang tengah mengenyam pendidikan tinggi. Benarkah mereka yang merupakan bagian dariZoomers(8-23), generasi yang lahir di era internet yang pesat, disebut pula strawberry generation, dilanda kesehatan mental yang buruk?
 
Secara umum tingkat bunuh diri di Tanah Air sangat mencemaskan. Sejak Januari hingga 19 Agustus 2024, berdasarkan data Polri, kasus bunuh diri terbanyak keempat, yakni mencapai 849 kejadian.
 
Kasus gangguan ketertiban dalam masyarakat terbanyak ialah penemuan mayat dengan 3.184 kasus. Selanjutnya kebakaran, yakni 1.781 kasus, orang hilang dengan 1.019 kasus, dan kasus bunuh diri.
 
Setahun sebelumnya data Polri terkait dengan bunuh diri membuat kita tertegun. Pada periode 1 Januari-15 Desember 2023, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1.226 jiwa. Data tersebut melampaui kasus bunuh diri yang tercatat selama 2022, yakni 826 kasus.
 
Sejauh ini belum diketahui pasti penyebab sejumlah mahasiswa mengakhiri nyawa mereka dengan sia-sia. Namun, apa pun penyebabnya, bisa ekonomi, sosial, perundungan, asmara, atau stres karena banyak tugas kuliah, mahasiswa membutuhkan penguatan mental.
 
Walakin, soal itu tidak bisa ujug-ujug. Proses itu harus dilakukan sejak dini dalam keluarga dan sekolah. Mental anak harus dididik kuat, tidak cengeng, tahan banting, alias tidak manja.
 
Mereka harus menghargai proses, tidak memburu hal-hal yang bersifat hasil(result oriented)sehingga mengambil jurus instan.
 
Nasi belum menjadi bubur. Semasa mahasiswa, pihak kampus masih memiliki waktu untuk menempa mental dan mengubah cara berpikir (mindset) mahasiswa. Mereka bukan lagi remaja yang masih perlu pengawasan dan bimbingan, melainkan individu yang perlu didorong agar mandiri untuk berpikir kritis, bersikap dewasa, dan bertindak secara bijak.
 
Penguatan mental dan mindset bisa dimulai sejak orientasi studi dan pengenalan kampus (ospek) tingkat kampus, fakultas, hingga jurusan. Hal itu bisa dilakukan dengan pola ceramah, diskusi, permainan, team work, dan olah kreativitas lainnya. Ospek ialah ajang kegiatan yang menggembirakan, bukan atraksi para senior tanpa isi yang memuakkan, menjengkelkan, dan menakutkan.
 
Menurut Pasal 5 ayat (a) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan tinggi bertujuan berkembangnya potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
 
Pendidikan di bangku kuliah harus menghargai proses, penalaran, komunikasi, problemsolving, dan penguatan kerja sama tim. Meskipun mahasiswa emoh menjadi aktivis kampus, hal itu tak lantas membuat mereka menjadi 'kupu-kupu' alias ' kuliah pulang, kuliah pulang'.
 
Proses belajar-mengajar di ruang kelas yang mengacu kepada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, bisa membangkitkan kecerdasan emosi, sosial, dan intelektualitas mereka.
 
Namun, semuanya bermuara pada kemampuan dosen dalam mengorkestrasi pembelajaran yang menyenangkan. Dosen tidak boleh lagi mengajar asal-asalan, asal menggugurkan kewajiban, tanpa mampu mengelaborasi materi yang disampaikannya.
 
Dosen ala kadarnya, ala kadar secara keilmuan dan tanggung jawab, sering kali membuat mahasiswa menjadi korban. Mahasiswa tidak tahu makna sesungguhnya dari tugas yang diberikan dosen. Akhirnya, mahasiswa mengambil jurus instan dengan meminta bantuan kecerdasan buatan (Chat-GPT).
 
Kehangatan di ruang kelas yang dibangun dosen berangkat dari komunikasi yang efektif dan menyenangkan. Bila setiap dosen mampu menghangatkan suasana dalam kelas yang menyenangkan dan mencerahkan, itu akan memengaruhi atmosfer kampus setempat, bahkan energi positifnya bisa terbawa ke rumah dan lingkungan pergaulan.
 
Alhasil, mahasiswa akan merasa nyaman belajar dan bersosialisasi di kampus tersebut. Ia bukan mahluk asing atau merasa sendirian, kesepian, di tengah hiruk pikuk canda tawa rekan-rekan mereka di kampus. Mereka tidak melulu bergumul dengan gawai untuk menepis FOMO aliasfear ofmissing out.
 
Dengan komunikasi yang baik, dosen akan bisa mendeteksi secara dini permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Caranya, dosen mengatasi hambatan komunikasi interpersonal. Ada empat hambatan komunikasi menurut De Vito (2009), yakni hambatan fisik, fisiologis, psikologis, dan semantik.
 
Membangun kampus biru, penuh cinta, ilmu, dan daya kritis jauh berfaedah ketimbang kampus pilu yang menjual kemewahan, tetapi menepikan tridaya, yakni daya cipta, rasa, dan karsa.Tabik!
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar bunuh diri Generasi Muda Generasi Z Perguruan Tinggi

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif