KRITIK memang tidak boleh menjadi musuh. Keterbukaan akan kritik ialah bentuk kecerdasan pikiran dan mental. Dari kritik yang tepat kita bisa membuat perbaikan dan penyempurnaan.
Sewajarnya pula apresiasi diberikan bagi mereka yag gemar memberikan kritik. Itu berarti mereka telah meluangkan waktu untuk kemajuan pihak lain. Demikianlah konsep kritik yang ideal. Konsep tersebut berlaku bagi perorangan, institusi, dan bahkan pemerintahan.
Namun, dalam konteks pemerintahan, pendahulu semestinya menahan diri mengkritik penerusnya. Begitulah etikanya. Bukan apa-apa, bila mengkritik penerusnya, presiden pendahulu seperti hendak membandingkan dirinya dengan sang penerus.
Bila kondisi saat ini lebih buruk, presiden pendahulu merasa lebih hebat daripada penerusnya. Bila kondisi saat ini lebih baik, presiden pendahulu seperti tidak senang dengan kesuksesan presiden penggantinya. Serupa ungkapan 'susah melihat orang senang'.
Situasi seperti itulah yang kita rasakan ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik angka kemiskinan di era pemerintahan Presiden Jokowi. Terus terang kita katakan SBY tidak etis. Menjelang Pilpres 2019, derajatnya terjun dari negarawan menjadi politikus. Apalagi, kritiknya salah kaprah.
Baru-baru ini SBY menyebut penduduk miskin di Indonesia berjumlah 100 juta orang. Pernyataan yang disebutkan menggunakan data Bank Dunia itu jelas merupakan kritik atas data BPS yang menyebut jumlah orang miskin 25,95 juta jiwa.
Kita setuju bahwa kemiskinan ialah pekerjaan besar negara untuk menanggulanginya, dan setiap dinamikanya harus menjadi perhatian bersama. Namun, kritik SBY tidak perlu membuat kita repot menilik perbedaan data, apalagi mempertanyakan kinerja pemerintah. Pangkal persoalan sesungguhnya ternyata pada kesalahan membaca perhitungan Bank Dunia, yakni kesalahan mengartikan nilai tukar. Nilai tukar kurs dolar AS yang digunakan untuk penghitungan poverty line oleh Bank Dunia bukan nilai tukar kurs sehari-hari, melainkan nilai tukar purchasing power parity yang hanya 5.639 per dolar AS.
Sementara itu, SBY sebagaimana dikemukakan sendiri oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Asan mengasumsikan kurs US$1 dengan Rp13 ribu. Dari situ diklaimlah penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi, yakni mencapai 47%, atau 120 juta jiwa.
Ketika kemudian Kementerian Keuangan memaparkan perincian perhitungan Bank Dunia, mana yang salah kaprah makin benderang. Kesan itu diperkuat SBY sendiri lewat sejumlah sanggahan melalui akun Twitter-nya. Presiden Ke-6 RI itu malah balik menilai banyak yang tidak mengerti akan kelompok the bottom 40% yang ia maksudkan. Ia juga mencicit bahwa tidak benar penduduk miskin 100 juta orang.
Sayangnya, bukan saja lebih tepat ditujukan ke jajaran partainya sendiri, sanggahan itu pun tidak bisa mengurai blunder sebab permasalahan kelompok the bottom 40% sudah ada sejak pemerintahannya sendiri. Karena itu, sarannya agar pemerintah memperhatikan kelompok itu seperti mengulang tugas yang semestinya ia selesaikan dulu.
Kemudian jika kita melihat persentase penduduk miskin di akhir masa pemerintahan SBY, lebih banyak lagi air yang tepercik ke wajah sendiri. Data BPS per September 2014, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 27,73 juta orang atau mencapai 10,96% dari keseluruhan penduduk, sedangkan kini persentase penduduk miskin ialah 9,82%.
Sebagaimana SBY mengakui sendiri akan sulitnya mengurangi angka kemiskinan, lebih elok jika ia mengapresiasi kerja penerusnya. Atau setidaknya SBY dapat menjaga kewibawaan budaya kritiknya dengan data dan argumentasi akurat. Dengan begitu, SBY tidak menghabiskan energi bangsa untuk menyimak hal-hal yang pada akhirnya ia ralat dan sanggah.
Kritik salah kaprah yang terus dipelihara bukan saja menjadi bumerang bagi diri sendiri, melainkan juga memberi kesan akan keinginan membawa duel pemilu lebih awal. Tentunya hal itu sangat tidak diharapkan dari seorang yang pernah menjadi kepala negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
