()

Mewaspadai Koalisi Tambun

27 Januari 2016 06:02
SALAH satu roh penting dari penerapan sistem demokrasi dalam bidang politik ialah checks and balances. Dengan prinsip-prinsip koreksi dan keseimbangan tersebut, kekuasaan akan selalu dijaga agar tidak disalahgunakan sehingga terpeleset menjadi otoriter. Di Indonesia, pelaksanaan prinsip checks and balances dinilai tidak seimbang selama masa Orde Lama dan Orde Baru.
 
Itulah sebabnya amendemen UUD 1945 dilakukan untuk menciptakan tata hubungan yang lebih harmonis dan adil. Dengan penerapan sistem checks and balances, pemerintahan akan stabil karena dijalankan secara efektif dan efisien untuk memenuhi tujuan negara seperti yang telah digariskan dalam konstitusi.
 
Karena itu, dalam dinamika politik kebangsaan, kendati negeri ini tidak mengenal oposisi, keberadaan penyeimbang yang kritis di luar pemerintahan layaknya oposisi tetap dibutuhkan. Partai politik penyeimbang atau oposisi loyal akan membuat roda pemerintahan tidak salah arah atau tergelincir.
 
Dengan begitu, demokrasi juga bisa berjalan sehat, rakyat punya alternatif untuk menimbang rupa-rupa kebijakan. Dalam konteks itulah kita melihat merapatnya Partai Amanat Nasional lalu disusul Partai Golkar yang sebelumnya mendeklarasikan diri menjadi oposisi 'mengayun' ke pangkuan pemerintah sebagai ancaman atas keseimbangan politik. Apalagi, nuansa yang melingkupi pergeseran bandul tersebut belum sepenuhnya terbebas dari hasrat meraih kue kekuasaan. Betul belaka bahwa dalam demokrasi Pancasila spirit gotong royong demi membangun kejayaan bangsa harus diutamakan. Namun, dalam sejarah politik di Republik ini selalu tersedia 'panggung depan' dan 'panggung belakang' yang keduanya bahkan kerap bertolak belakang secara diametral.
 
Di 'panggung depan', PAN dan Golkar memang bertekad merapatnya mereka ke barisan partai pendukung pemerintah membawa misi agung demi kemaslahatan rakyat dan bangsa. Namun, sulit untuk dimungkiri bahwa di 'panggung belakang' mereka bergerilya dan bernegosiasi untuk meraih hal-hal di luar misi mulia tersebut.
 
Pernyataan mereka bahwa keputusan bergabung ke barisan pendukung pemerintah dilakukan dengan sukarela dan tanpa syarat masih perlu diuji lagi. Buktinya, sejumlah politikus dari partai yang baru bergabung itu menyebut telah memegang komitmen pimpinan pemerintahan untuk memberikan sejumlah kursi menteri.
 
Tidak menjadi persoalan partai-partai yang tadinya bersepakat berada di luar pemerintahan bergerak cepat merapat ke pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, pergerakan itu mestinya dibarengi dengan komitmen teguh untuk menjaga fatsun politik bahwa sebagai pendatang baru yang 'tidak berkeringat', mereka tidak usah meminta-minta jatah kekuasaan.
 
Tunjukkanlah bahwa apa yang dipekikkan di panggung depan selaras dengan yang terjadi di panggung belakang. Bagi pemerintahan Jokowi-JK, kita mengingatkan agar tidak terlalu bersukacita karena hampir semua partai politik, kecuali Gerindra dan PKS, berada di barisan pemerintahan.
 
Sejarah pemerintahan sebelumnya di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono menunjukkan koalisi supergemuk tidak menjamin roda pemerintahan berjalan efektif. Tidak jarang di antara anggota koalisi saling menyandera, bahkan berseberangan dengan kebijakan pemerintah.
 
Jika itu yang terjadi, fokus menata pembangunan ekonomi akan kembali terganggu oleh kegaduhan baru akibat koalisi yang kelewat tambun, yang tiap-tiap anggotanya memiliki agenda masing-masing. Rakyat pun kembali gigit jari.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif