BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) disebut mirip mandor zaman Belanda. Pengawas yang lazim disebut mandor pada zaman penjajah itu, kendati hanya duduk di balik meja, bisa mengambil keputusan tanpa menggali fakta. Putusan yang diambil dari balik meja tentu saja patut diragukan kebenarannya.
Sebutan Bawaslu mirip mandor zaman Belanda itu datang dari Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief. Bawaslu disebutnya malas dan tidak serius mengusut kasus dugaan pemberian mahar yang melibatkan Sandiaga Uno.
Dugaan pemberian mahar yang melibatkan Sandiaga Uno, bakal calon wakil presiden pendamping bakal calon presiden Prabowo Subianto, pertama kali diungkapkan Andi Arief. Tidak tanggung-tanggung, Andi Arief menyebut mahar sebesar Rp1 triliun diberikan kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kedua partai itu, bersama Partai Gerindra besutan Prabowo Subianto, juga Partai Demokrat menjadi pengusung pasangan Prabowo-Sandiaga.
Kendati tuduhan mahar yang diduga dilakukan Sandiaga itu diungkapkan di media sosial dan ramai diperbincangkan publik, Bawaslu pada mulanya tetap berpangku tangan. Mereka sama sekali tidak tergerak untuk turun tangan mengusutnya.
Bawaslu baru turun tangan ketika pada 14 Agustus menerima laporan dari LSM Federasi Indonesia Bersatu. Ada tiga saksi yang diajukan LSM itu, salah satunya Andi Arief.
Andi Arief yang menjadi saksi kunci dalam kasus mahar politik tersebut tidak bisa dimintai keterangan oleh Bawaslu karena yang bersangkutan dua kali tidak memenuhi panggilan. Meski tanpa mendengarkan keterangan saksi kunci, Bawaslu punya keberanian luar biasa untuk memutuskan bahwa tidak ada pelanggaran pemilu dalam kasus tersebut. Dengan demikian, Sandiaga dinyatakan tidak melakukan pelanggaran.
Bawaslu disebut punya keberanian luar biasa karena bisa memutuskan masalah besar nan sensitif tanpa meminta keterangan Andi Arief sebagai pihak pertama yang mengungkapkan dugaan mahar politik itu. Pun, mereka tidak meminta keterangan pihak-pihak yang terlibat, seperti Sandiaga Uno, PKS, dan PAN.
Harus tegas dikatakan bahwa Andi Arief pada dasarnya bersedia untuk memberikan keterangan asalkan yang bersangkutan dimintai keterangan di Lampung. Sebaliknya, Bawaslu kukuh bahwa pemeriksaan Andi Arief harus dilakukan di kantor pusat Bawaslu di Jakarta. Mestinya, jika benar bersungguh-sungguh ingin membasmi politik uang, Bawaslu bisa meminta keterangan Andi Arief di Lampung. Dalam konteks ini kita sepakat dengan Andi Arief yang menyebut Bawaslu pemalas dan tidak serius mengusut kasus mahar politik.
Harus tegas dikatakan bahwa mahar politik, sama seperti korupsi, ialah kejahatan luar biasa yang mestinya diatasi dengan cara-cara luar biasa pula. Ironisnya, Bawaslu mengusut kasus mahar politik dengan cara-cara normatif, ongkang-ongkang kaki menunggu Andi Arief datang ke kantor mereka. Bawaslu yang hanya duduk manis di kantor itulah yang menjadi dasar Andi Arief menyebut mereka sebagai mandor di zaman Belanda.
Sekalipun putusan Bawaslu terkait dengan mahar politik yang diduga melibatkan Sandiaga Uno menimbulkan kekecewaan amat mendalam, putusan itu tetaplah harus diterima dan dihormati. Diterima karena Bawaslu-lah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas untuk mengusut politik uang dalam pemilu. Akan tetapi, catatan bahwa Bawaslu pemalas serupa mandor zaman penjajahan tetap melekat di tubuh lembaga tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
