NEGARA berkewajiban melindungi segenap warganya. Itu dinyatakan secara gamblang dalam Undang-Undang Dasar kita. Negara mesti melindungi warga negara, di mana pun mereka berada. Anggota atau bekas anggota organisasi Gerakan Fajar Nusantara, Gafatar, masih warga negara Indonesia. Karena itulah, negara wajib hukumnya melindungi mereka. Akan tetapi, terus terang kita katakan bahwa negara seperti setengah hati melindungi warga Gafatar. Negara seperti membiarkan pembakaran permukiman mereka di Mempawah, Kalimantan Barat.
Itulah yang terjadi saat massa yang marah membakar mobil dan rumah mereka, yang mencapai puncaknya pada 19 Januari lalu. Aparat seperti membiarkan kekerasan itu terjadi agar warga Gafatar terusir dari permukiman mereka. Betul negara kemudian menyediakan tempat pengungsian warga Gafatar. Benar pula negara memfasilitasi kepulangan mereka ke tempat asal. Kita mengapresiasi langkah itu.
Namun, kita tidak bisa menerima apabila negara membiarkan kekerasan terjadi kepada warga negara, termasuk pengikut ataupun eks pengikut Gafatar. Oleh karena itu, untuk membuktikan kehadiran negara, aparat penegak hukum harus menindak para pelaku kekerasan terhadap pengikut Gafatar. Itulah yang namanya keadilan. Negara jangan cuma sibuk berusaha menghukum warga Gafatar, tapi membiarkan pelaku kekerasan terhadap mereka bebas dari jerat hukum.
Kita setuju negara mengambil langkah-langkah hukum apabila warga Gafatar melakukan perbuatan pidana dan makar. Akan tetapi, sebagai manusia dan warga negara, mereka tetap harus mendapat perlindungan dari negara. Maling ayam saja tetap harus dilindungi dari amuk massa. Jelas sekali yang menjadi tugas negara ialah melindungi warga Gafatar serta mengambil langkah hukum terhadap mereka jika mereka berbuat pidana atau makar. Negara tak perlu ikut campur ihwal keyakinan agama mereka. Itu biarlah menjadi urusan privat mereka.
Negara, termasuk ulama atau organisasi agama, telah melakukan langkah yang keliru jika menabalkan cap sesat dalam hal keyakinan kepada mereka. Itu karena label sesat sering kali memicu konflik horizontal. Warga jadi punya alasan menyerang mereka yang dicap menyimpang itu. Celakanya, negara seperti membiarkan atau mungkin saja mengondisikan konflik horizontal itu. Negara lalu punya alasan untuk mengungsikan mereka. Ini tipe negara yang tak mau repot.
Itulah yang terjadi pada warga Ahmadiyah dan Syiah. Bahkan, warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat dan warga Syiah di Madura yang hidupnya terkatung-katung, hingga kini masih di pengungsian. Negara seperti kehabisan pekerjaan jika sibuk mengurus keyakinan warga negara. Padahal, negara punya tugas lebih besar, yakni melindungi warga negara dan mengambil langkah hukum terhadap warga negara yang berbuat pidana atau makar.
Intinya kita ingin mengatakan negara harus proporsional dalam menangani perkara Gafatar. Negara harus piawai menyeleksi mana yang menjadi tugasnya dan mana yang bukan. Sekali lagi, tugas negara ialah melindungi warga negara dan menegakkan hukum. Negara tak perlu repot-repot mengurus keyakinan privat warga negara.
Gitu aja kok repot!
Cek Berita dan Artikel yang lain di
