MEMPERJUANGKAN aspirasi dan kepentingan daerah ialah salah satu kewajiban anggota dewan. Untuk keperluan itu, anggota dewan harus piawai melobi dan lihai bergaul untuk memengaruhi pusat merealisasikan proyek di daerah.
Itu jelas tidak salah, bahkan harus. Yang salah ialah memperjuangkan kepentingan daerah dalam semangat komersial karena itu tak ubahnya dengan broker alias calo.
Semangat komersial yang amat kental itulah yang terkuak dalam dua persidangan kasus korupsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (4/4). Dua kasus berbeda itu bertemu dalam satu semangat anggota dewan, yakni apa-apa diduitkan.
Kasus pertama terkait dengan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo. Ia mengajukan proposal proyek pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Papua. Proposal itu disampaikan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagaimana diakui Menteri ESDM Sudirman Said saat bersaksi di pengadilan.
Adalah sangat mulia wakil rakyat memperjuangkan kepentingan daerah. Karena itu, Dewie Yasin Limpo mestinya diapresiasi meski pada ahirnya proposal yang diajukannya ditolak karena tidak memenuhi syarat minimal pengajuan aspirasi daerah kepada pemerintah pusat.
Namun, kemuliaan tugas tanpa ketulusan telah menggelincirkan Dewie Yasin Limpo. Tidak tulus karena mengomersialkan kekuasaan dan kewajiban anggota dewan.
Belakangan terungkap, proposal diajukan Dewie karena dia disuap Kepala Dinas ESDM Kabupaten Deiyai Irenius Adii dan Setiady Jusuf, pengusaha yang bakal menggarap proyek pembangkit listrik tersebut, jika proposal dikabulkan pemerintah pusat.
Kekuasaan yang dikomersialkan juga terungkap dalam persidangan perkara suap proyek pembangunan dan peningkatan jalan di Maluku dan Maluku Utara dengan terdakwa Abdul Khoir. Dalam kasus kedua ini, seperti terungkap dalam surat dakwaan jaksa KPK, terkuak aliran dana ke sejumlah anggota DPR. Suap tidak hanya mengalir ke dua anggota Komisi V yang telah menjadi tersangka, yakni anggota Fraksi PDIP Damayanti Wisnu Putranti dan anggota Fraksi Golkar Budi Supriyanti. Dua anggota Komisi V DPR lainnya, yang kini masih menghirup udara bebas, juga disebut, yaitu Andi Taufan Tiro dari Fraksi PAN dan Musa Zainuddin dari PKB.
Dalam surat dakwaan disebutkan bahwa Andi menerima uang Rp4 miliar dan S$206.718. Jaksa juga menyebutkan Musa menerima Rp8 miliar, dan Budi menerima sedikitnya S$305 ribu, atau setara Rp3,050 miliar. Adapun Damayanti, ia menerima Rp5 miliar.
Pada Desember 2015, sebagian dari uang suap itu diberikan Damayanti kepada Hendrar Prihadi, calon Wali Kota Semarang yang diusung PDIP, serta pasangan Widya Kandi Susanti-Mohamad Himi, pasangan calon kepala daerah Kendal, Jawa Tengah, yang diusung PDIP dan PKB. Tiap calon menerima Rp300 juta sebagai biaya politik pilkada.
Ada dua persoalan yang harus dibereskan KPK. Pertama, segera memperjelas status hukum dua anggota DPR yang masih bebas tapi disebut menerima suap. Jangan biarkan penyebutan nama di surat dakwan berbuah fitnah.
Kedua, terkait dengan suap yang dipakai untuk keperluan biaya politik pilkada, apakah penerima aliran uang suap untuk keperluan politik tidak dimintai pertanggungjawaban secara hukum kendati Hendrar yang sudah dilantik menjadi Wali Kota Semarang mengaku sudah mengembalikan uang itu kepada KPK?
Rakyat tak pernah kapok mengingatkan agar anggota dewan tidak melumuri wajah dengan lumpur komersialisasi. Jika apa-apa diduitkan, apa bedanya anggota dewan dengan calo?
Cek Berita dan Artikel yang lain di
