()

Politisasi Berujung Intoleransi

26 Februari 2016 09:47
MENCAMPURADUKKAN yang sakral dan profan bukanlah perbuatan adil. Tidak adil karena ia menempatkan keduanya bukan pada tempat semestinya.Akan tetapi, itulah yang masih saja terjadi di negara ini. Negara, terutama pemerintah daerah, masih saja gemar mencampuradukkan agama yang sakral dan politik yang profan. Banyak kepala daerah sesuka hati melakoni politisasi agama.
 
Celakanya, politisasi agama itu sering kali berujung pada intoleransi pada kelompok-kelompok warga negara minoritas. Data termutakhir yang dilansir The Wahid Institute, misalnya, mempertontonkan sepanjang 2015 terjadi 249 kali pertunjukan intoleransi. Dari jumlah itu, 130 atau 52% dilakukan oleh negara dan 119 atau 48% oleh aktor nonnegara. Persentase itu sama dengan 2014. Artinya, negara masih saja mendominasi sebagai pelaku intoleransi.
 
Padahal, konstitusi gamblang menyebutkan negara melindungi segenap bangsa Indonesia. Konstitusi juga jelas dan tegas menggariskan bahwa setiap warga negara berhak menganut agama dan keyakinan serta mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, harus kita tegaskan bahwa negara belum sepenuhnya menunaikan kewajiban itu. Ketika kaum minoritas disudutkan kelompok mayoritas, negara kerap absen. Ketika hak-hak sebagian rakyat penganut keyakinan tertentu dirampas, negara sering kali tak hadir memberikan pengayoman. Bahkan, terkadang negara memfasilitasi kelompok intoleran untuk menegasikan kalangan minoritas.
 
Kenapa negara tetap kompromistis dengan intoleransi? Salah satunya karena mereka, utamanya kepala daerah, memosisikan agama sebagai alat untuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka menjual agama demi kepentingan politik, bahkan tak jarang telah terikat kontrak tertentu, meneken deal-deal tertentu, dengan kelompok intoleran yang membantu dalam perebutan panggung kekuasaan di pilkada. Sebagai imbal jasa kepada kelompok yang mendukungnya, kepala daerah mengeluarkan kebijakan intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas. Kejadian di Bangka baru-baru ini menguatkan fenomena itu. Di sana, Bupati Tarmizi meminta jemaat Ahmadiyah angkat kaki atau bertobat. Juga di Tasikmalaya, Jawa Barat, polisi sebagai representasi negara mematuhi desakan ormas keagamaan untuk melarang seminar mengenai empat pilar kebangsaan yang digelar Komunitas Respect and Dialogue.
 
Di Indonesia yang sebagian masyarakatnya belum sepenuhnya rasional, agama memang sarana paling efektif sebagai komoditas untuk memengaruhi dan membujuk orang. Sikap dan perilaku itu jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip keadaban. Mereka telah menurunkan derajat kemuliaan agama dengan menjadikannya sebagai komoditas atau jualan politik.
 
Berulang kali kita mengingatkan bahwa Republik ini dibangun berpilarkan keberagaman dan menjadi kewajiban seluruh elemen bangsa untuk menjaga keberagaman itu. Berulang kali kita mengingatkan bahwa agama terlalu suci untuk sekadar digunakan demi kepentingan politik.
Perilaku kepala daerah yang menjadikan agama sebagai komoditas politik pantang dibiarkan karena perilaku itu bisa mengoyak keberagaman. Perda-perda yang bertentangan dengan prinsip keberagaman pun harus segera dicabut karena melanggar konstitusi. Itulah tugas negara untuk memastikan, bukan malah sebaliknya mereka terus larut dalam pusaran antikeberagaman.

MENCAMPURADUKKAN yang sakral dan profan bukanlah perbuatan adil. Tidak adil karena ia menempatkan keduanya bukan pada tempat semestinya.Akan tetapi, itulah yang masih saja terjadi di negara ini. Negara, terutama pemerintah daerah, masih saja gemar mencampuradukkan agama yang sakral dan politik yang profan. Banyak kepala daerah sesuka hati melakoni politisasi agama.

Celakanya, politisasi agama itu sering kali berujung pada intoleransi pada kelompok-kelompok warga negara minoritas. Data termutakhir yang dilansir The Wahid Institute, misalnya, mempertontonkan sepanjang 2015 terjadi 249 kali pertunjukan intoleransi. Dari jumlah itu, 130 atau 52% dilakukan oleh negara dan 119 atau 48% oleh aktor nonnegara. Persentase itu sama dengan 2014. Artinya, negara masih saja mendominasi sebagai pelaku intoleransi.

Padahal, konstitusi gamblang menyebutkan negara melindungi segenap bangsa Indonesia. Konstitusi juga jelas dan tegas menggariskan bahwa setiap warga negara berhak menganut agama dan keyakinan serta mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, harus kita tegaskan bahwa negara belum sepenuhnya menunaikan kewajiban itu. Ketika kaum minoritas disudutkan kelompok mayoritas, negara kerap absen. Ketika hak-hak sebagian rakyat penganut keyakinan tertentu dirampas, negara sering kali tak hadir memberikan pengayoman. Bahkan, terkadang negara memfasilitasi kelompok intoleran untuk menegasikan kalangan minoritas.

Kenapa negara tetap kompromistis dengan intoleransi? Salah satunya karena mereka, utamanya kepala daerah, memosisikan agama sebagai alat untuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka menjual agama demi kepentingan politik, bahkan tak jarang telah terikat kontrak tertentu, meneken deal-deal tertentu, dengan kelompok intoleran yang membantu dalam perebutan panggung kekuasaan di pilkada. Sebagai imbal jasa kepada kelompok yang mendukungnya, kepala daerah mengeluarkan kebijakan intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Kejadian di Bangka baru-baru ini menguatkan fenomena itu. Di sana, Bupati Tarmizi meminta jemaat Ahmadiyah angkat kaki atau bertobat. Juga di Tasikmalaya, Jawa Barat, polisi sebagai representasi negara mematuhi desakan ormas keagamaan untuk melarang seminar mengenai empat pilar kebangsaan yang digelar Komunitas Respect and Dialogue.

Di Indonesia yang sebagian masyarakatnya belum sepenuhnya rasional, agama memang sarana paling efektif sebagai komoditas untuk memengaruhi dan membujuk orang. Sikap dan perilaku itu jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip keadaban. Mereka telah menurunkan derajat kemuliaan agama dengan menjadikannya sebagai komoditas atau jualan politik.

Berulang kali kita mengingatkan bahwa Republik ini dibangun berpilarkan keberagaman dan menjadi kewajiban seluruh elemen bangsa untuk menjaga keberagaman itu. Berulang kali kita mengingatkan bahwa agama terlalu suci untuk sekadar digunakan demi kepentingan politik.
Perilaku kepala daerah yang menjadikan agama sebagai komoditas politik pantang dibiarkan karena perilaku itu bisa mengoyak keberagaman. Perda-perda yang bertentangan dengan prinsip keberagaman pun harus segera dicabut karena melanggar konstitusi. Itulah tugas negara untuk memastikan, bukan malah sebaliknya mereka terus larut dalam pusaran antikeberagaman.

- See more at: https://mediaindonesia.com/editorial/read/673/politisasi-berujung-intoleransi/2016-02-26#sthash.DwDDHFJZ.dpuf

MENCAMPURADUKKAN yang sakral dan profan bukanlah perbuatan adil. Tidak adil karena ia menempatkan keduanya bukan pada tempat semestinya.Akan tetapi, itulah yang masih saja terjadi di negara ini. Negara, terutama pemerintah daerah, masih saja gemar mencampuradukkan agama yang sakral dan politik yang profan. Banyak kepala daerah sesuka hati melakoni politisasi agama.

Celakanya, politisasi agama itu sering kali berujung pada intoleransi pada kelompok-kelompok warga negara minoritas. Data termutakhir yang dilansir The Wahid Institute, misalnya, mempertontonkan sepanjang 2015 terjadi 249 kali pertunjukan intoleransi. Dari jumlah itu, 130 atau 52% dilakukan oleh negara dan 119 atau 48% oleh aktor nonnegara. Persentase itu sama dengan 2014. Artinya, negara masih saja mendominasi sebagai pelaku intoleransi.

Padahal, konstitusi gamblang menyebutkan negara melindungi segenap bangsa Indonesia. Konstitusi juga jelas dan tegas menggariskan bahwa setiap warga negara berhak menganut agama dan keyakinan serta mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, harus kita tegaskan bahwa negara belum sepenuhnya menunaikan kewajiban itu. Ketika kaum minoritas disudutkan kelompok mayoritas, negara kerap absen. Ketika hak-hak sebagian rakyat penganut keyakinan tertentu dirampas, negara sering kali tak hadir memberikan pengayoman. Bahkan, terkadang negara memfasilitasi kelompok intoleran untuk menegasikan kalangan minoritas.

Kenapa negara tetap kompromistis dengan intoleransi? Salah satunya karena mereka, utamanya kepala daerah, memosisikan agama sebagai alat untuk mengamankan kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka menjual agama demi kepentingan politik, bahkan tak jarang telah terikat kontrak tertentu, meneken deal-deal tertentu, dengan kelompok intoleran yang membantu dalam perebutan panggung kekuasaan di pilkada. Sebagai imbal jasa kepada kelompok yang mendukungnya, kepala daerah mengeluarkan kebijakan intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Kejadian di Bangka baru-baru ini menguatkan fenomena itu. Di sana, Bupati Tarmizi meminta jemaat Ahmadiyah angkat kaki atau bertobat. Juga di Tasikmalaya, Jawa Barat, polisi sebagai representasi negara mematuhi desakan ormas keagamaan untuk melarang seminar mengenai empat pilar kebangsaan yang digelar Komunitas Respect and Dialogue.

Di Indonesia yang sebagian masyarakatnya belum sepenuhnya rasional, agama memang sarana paling efektif sebagai komoditas untuk memengaruhi dan membujuk orang. Sikap dan perilaku itu jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip keadaban. Mereka telah menurunkan derajat kemuliaan agama dengan menjadikannya sebagai komoditas atau jualan politik.

Berulang kali kita mengingatkan bahwa Republik ini dibangun berpilarkan keberagaman dan menjadi kewajiban seluruh elemen bangsa untuk menjaga keberagaman itu. Berulang kali kita mengingatkan bahwa agama terlalu suci untuk sekadar digunakan demi kepentingan politik.
Perilaku kepala daerah yang menjadikan agama sebagai komoditas politik pantang dibiarkan karena perilaku itu bisa mengoyak keberagaman. Perda-perda yang bertentangan dengan prinsip keberagaman pun harus segera dicabut karena melanggar konstitusi. Itulah tugas negara untuk memastikan, bukan malah sebaliknya mereka terus larut dalam pusaran antikeberagaman.

- See more at: https://mediaindonesia.com/editorial/read/673/politisasi-berujung-intoleransi/2016-02-26#sthash.DwDDHFJZ.dpu

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase

TERKAIT
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif