Yulina menegaskan, fenomena ini harus dikritisi karena menimbulkan tantangan tersendiri bagi tumbuh kembang remaja.
“Bagi remaja, AI dianggap netral dan tidak menghakimi. Mereka merasa lebih aman mengungkapkan perasaan tanpa takut dimarahi, disalahkan, atau diejek,” jelas Yulina.
Ia menambahkan, ketersediaan AI selama 24 jam membuatnya seolah menjadi ‘teman virtual alami’ bagi generasi Z dan Alpha. Namun, di balik sisi positif sebagai penyalur emosi, fenomena ini mencerminkan adanya kesenjangan komunikasi antara remaja dengan orang tua maupun jejaring sosialnya.
Menurut Yulina, jika tidak dikelola dengan baik, curhat kepada AI dapat menimbulkan risiko serius, mulai dari privasi data hingga dampak psikologis. “Remaja bisa saja mengalami kebocoran data pribadi karena interaksi mereka tersimpan di server penyedia layanan AI,” ujarnya.
Selain itu, ketergantungan emosional pada AI berpotensi menghambat keterampilan sosial remaja. AI yang selalu memberi respons instan membuat remaja kurang belajar mengelola frustasi, menunggu, atau bernegosiasi dengan orang lain.
“Keterampilan empati, membaca ekspresi wajah, dan komunikasi nyata bisa tereduksi jika semua curhat digantikan AI,” tambahnya.
Ia menekankan peran orang tua dan sekolah sangat penting. Orang tua perlu membangun komunikasi dua arah, mendengarkan tanpa menghakimi, sekaligus memberikan literasi digital tentang risiko berbagi data pribadi.
“Sesekali tanyakan kepada anak, dengan cara suportif, apa yang ia bicarakan dengan AI. Pendampingan aktif ini krusial agar remaja tidak salah langkah,” tutur Yulina.
Bagi sekolah, integrasi literasi digital dan emosional dalam kurikulum menjadi kebutuhan mendesak. Guru bimbingan konseling (BK) juga perlu memahami fenomena ini agar remaja tetap nyaman berbicara dengan manusia.
“Sekolah dapat membentuk peer support system, yakni kelompok teman sebaya terlatih untuk mendengarkan. Dengan begitu, remaja tidak hanya bergantung pada AI,” jelasnya.
Baca juga: 7 Buku yang Wajib Dibaca untuk Melatih Berpikir Kritis dan Tajam
|
Fenomena remaja curhat ke AI, lanjut Dr Yulina, harus dijadikan momentum memperkuat komunikasi sehat dalam keluarga dan lingkungan sekolah. Terakhir, ia menyarankan agar platform AI sebaiknya menerapkan moderasi konten ketat, transparansi data, serta safeguard otomatis untuk merespons kata kunci berbahaya.
“AI sebaiknya diposisikan sebagai pendamping, bukan pengganti psikolog atau konselor. AI hanyalah alat, bukan pengganti relasi manusia,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id