Khusus pelibatan epidemiolog, kata dia, diperlukan untuk membantu merumuskan langkah-langkah yang perlu diambil di masing-masing daerah, mulai dari asesmen kesiapan, hingga manipulasi infrastruktur. Sebab, pengambilan keputusan ini tidak cukup didasarkan pada zonasi risiko covid-19.
"Zonasi kurang bagus akurasinya, perlu ditambah dengan parameter lain seperti positivity rate juga," terang Bayu mengutip siaran pers UGM, Kamis, 3 Desember 2020.
Menurut Bayu, positivity rate diharapkan berada di bawah angka lima persen. Namun, indikator ini perlu dilihat dari masing-masing daerah, bukan indikator secara nasional. "Dan ini salah satunya selain jumlah yang di tracing, juga jumlah kasus aktif, jumlah kasus baru, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, dan lainnya," ungkap Bayu.
Baca: Vaksin Merah Putih Berpotensi Diekspor
Menurut dia, keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021, belum tepat jika melihat covid-19 di Indonesia secara umum saat ini. Namun, ia menyebut bahwa untuk dapat menakar kesiapan, perlu dilihat dari kondisi di setiap provinsi, kabupaten, atau kota.
"Karena ada daerah yang memang kasusnya dari awal sedikit dan tergolong bagus, mungkin di situ bisa dipertimbangkan," jelasnya.
Selain protokol umum covid-19 seperti menjaga jarak, mengenakan masker, dan mencuci tangan, Bayu memaparkan bahwa dalam konteks kegiatan belajar mengajar di sekolah diperlukan sejumlah protokol tambahan. Protokol ini berupa pengawasan harian kondisi murid, guru dan orang tua murid, pengaturan jam kelas menjadi lebih pendek, pengaturan posisi duduk di kelas dan ruang guru, serta bagaimana memastikan setiap kelas memiliki ventilasi yang baik.
Ia menambahkan, perlu juga asesmen yang lebih detail untuk pembukaan sekolah pada jenjang SD dan jenjang pendidikan di bawahnya. Sebab, lebih sulit untuk memastikan setiap siswa dapat tetap menerapkan protokol kesehatan.
Menurut Bayu, perlu upaya lebih, mulai dari kesiapan guru, edukasi ke anak-anak untuk persiapan mengikuti pembelajaran tatap muka, pengawasan saat belajar, hingga pengaturan jam belajar.
"Anak usia SD ke bawah yang paling susah untuk menggunakan masker. Jadi, tingkat kesulitannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan SMP dan SMA," ujarnya.
Baca: Pembukaan Kampus, Indekos Mahasiswa Dikhawatirkan Jadi Klaster Covid-19
Sementara itu terkait penerapan pembelajaran tatap muka di jenjang pendidikan tinggi, masing-masing perguruan tinggi bersama pemerintah daerah setempat perlu berkoordinasi dalam melakukan pengawasan terhadap mahasiswa yang akan memasuki daerah tersebut. Ia mengatakan, semua mahasiswa yang akan datang ke suatu daerah wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari.
"Kemudian jika memastikan akan melakukan perkuliahan, perlu mempersiapkan kondisi ruang kuliah, pengawasan mahasiswa terkait dengan gejala, komunikasi dengan dinas kesehatan, dan lain sebagainya," kata Bayu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News