Sementara, dari sisi ekonomi, pembangunan ekonomi memiliki dua sisi terhadap bencana dan kerusakan lingkungan. Pertama, kegiatan ekonomi yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi semata (profit) akan berkontibusi lebih tinggi terhadap kerusakan lingkungan serta bencana.
Sebaliknya, kerusakan lingkungan dan bencana yang terjadi sudah pasti akan melumpuhkan kegiatan ekonomi. Mulai dari hancurnya persediaan bahan baku, alat produksi, hingga sarana logistik.
"Kegiatan ekonomi yang terganggu mulai dari level rumah tangga hingga tingkat daerah dan nasional," ujarnya.
Fauzi menerangkan, dalam ekonomi sumber daya alam dikenal fenomena CC-PP (Commonized Cost- Privatized Profit). Ini merupakan fenomena kegiatan ekonomi, yang kalau memperoleh keuntungan dinikmati sendiri atau korporasi.
Baca:
Analisa Dokter Alumnus UNS Soal Penyebab Meningkatnya Kasus Covid-19
Sementara, apabila terjadi kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekonomi, semua pihak ikut merasakan, bahkan masyarakat yang tidak memperoleh keuntungan materiil apa pun dari kegiatan ekonomi tersebut. Contohnya, dampak dari banjir dan bencana lain yang dirasakan saat ini.
Tingkat keparahan dari dampak bencana alam, kata dia, bergantung pada skala luasan dan frekuensi bencana, serta dipengaruhi kesiapan sistem. Sebuah wilayah yang memiliki frekuensi bencana tinggi, namun memiliki ketahanan terhadap bencana atau kesiapan mitigasi yang baik maka dampak yang disebabkan tidak akan terlalu berat.
"Indonesia adalah negara yang rawan bencana, namun kesalahan kita adalah menganggap bencana sebagai faktor eksternal, padahal sebagian besar bencana di Indonesia dapat diantisipasi karena cenderung berpola," tambahnya.