"Saturasi oksigen adalah persentase Hemoglobin (Hb) yang mengikat oksigen atau kejenuhan Hb yang teroksigenisasi," ujar Ceva mengutip siaran pers UI, Jumat, 23 Juli 2021.
Ia menjelaskan, saturasi oksigen seseorang dapat diukur dengan alat yang bernama oksimeter. Pengukurannya dilakukan dengan cara menjepitkan oksimeter pada jari tangan. Saturasi oksigen kemudian akan diukur berdasarkan jumlah cahaya yang dipantulkan oleh sinar inframerah, yang dikirim ke pembuluh darah kapiler.
Ia berpendapat bahwa penderita covid-19 cenderung memiliki tingkat oksigen yang rendah di dalam darah. Sebab, sirkulasi oksigen pada pasien terhambat akibat adanya infeksi virus pada paru-paru, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan yang menyulitkan oksigen masuk ke dalam tubuh.
Baca: Tips agar Belajar Lebih Efektif di Masa Pandemi
Saturasi oksigen dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu sistem peredaran darah dan fungsi paru-paru. Pada pasien covid-19, kata dia, distress napas bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu gagal napas dan tromboemboli (bekuan darah yang bergerak).
Ceva menjelaskan beberapa cara untuk meningkatkan saturasi oksigen agar tetap stabil. Antara lain memastikan bahwa sirkulasi udara di ruangan sudah baik, olahraga teratur, konsumsi zat besi, dan menghindari merokok.
"Hal ini mungkin terdengar klise, tapi ini adalah cara-cara klasik yang sudah terbukti menjaga kesehatan manusia secara holistik," ujar staf pengajar Respirologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM itu.
Sementara, Manajer Riset, Publikasi, dan Sitasi Fakultas Hukum UI Heru Susetyo menyoroti fenomena kelangkaan oksigen dan obat-obatan penanganan covid-19 yang terjadi belakangan ini.
Baca: Panduan Isolasi Mandiri pada Anak yang Terpapar Covid-19
Ia menegaskan, setiap orang yang melakukan aksi penimbunan tabung oksigen dan obat-obatan dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014 dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp5 miliar. Selain itu, oknum penimbun juga dapat dikenakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan ancaman penjara enam tahun dan denda Rp2 miliar.
Heru juga membahas mengenai Pasal 14 Undang-Undang Wabah tahun 1984 yang masih bersifat sangat luas dan cair. Penegak hukum pun mengalami kesulitan dalam menentukan apakah tindakan pelanggaran tersebut termasuk ke dalam kategori pelanggaran akibat kelalaian atau tindakan kejahatan yang dilakukan secara sengaja.
"Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya ketimpangan antara penindakan pada satu kasus dan kasus lainnya," ujar Heru.
Ia menambahkan, sampai saat ini masih terdapat berbagai masalah dalam penanganan pandemi. Seperti banyaknya hoaks akibat tingkat literasi masyarakat yang rendah, dan banyaknya aparat penegak hukum yang terpapar covid-19. Hal ini menyebabkan aktivitas penegakan hukum tidak bisa dilaksanakan secara maksimal, karena harus dihentikan sementara waktu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News