Tim tersebut terdiri dari tiga ilmuwan ITB yang terlibat di penelitian ini. Ketiganya berasal dari Kelompok Keahlian Paleontologi dan Geologi Kuarter dari Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi (FITB), Prof. Dr. Ir. Yan Rizal R., Dipl.Geol dan Prof. Dr. Aswan, S.T., M.T. (dosen aktif), dan Prof. Yahdi Zaim (pensiun).
Penemuan mereka telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah Q1, Nature. Meski terletak jauh di tengah hutan jati di Kabupaten Blora, Desa Ngandong memiliki peran yang signifikan dalam penelitian manusia purba.
Pada 1931, Ter Haar, seorang peneliti Belanda yang saat itu memetakan aliran sungai Bengawan Solo menemukan suatu endapan berundak di cekungan alur sungai. Ekskavasi pada salah satu undakan yang berjarak 20 cm dari aliran sungai berhasil mendapatkan dua tengkorak (calvaria) manusia purba.
Dengan bantuan dari Oppenoort dan Von Koenigswald, ekskavasi dilanjutkan sampai tahun 1993 dan menghasilkan 12 calvaria dan 2 tulang kering (tibia). Tengkorak yang ditemukan di Desa Ngandong memiliki ukuran yang relatif besar dan menunjukkan karakter evolusi yang lebih maju dibandingkan dengan fosil-fosil manusia purba lain yang ditemukan di situs arkeologi Sangiran dan Trinil.
Ubun-ubun dari fosil tengkorak Ngandong memiliki bentuk yang lebih bundar dan tinggi. Karakter-karakter ini mengakibatkan temuan fosil Ngandong diklasifikasikan sebagai fosil Hominid dengan nama latin Homo erectus.
Menggunakan beberapa teknik penanggalan karbon, fosil Homo erectus Ngandong dinyatakan berasal dari zaman yang cukup modern. Temuan fosil ini sebagai fosil Hominid termuda yang pernah ditemukan di Asia Tenggara.
Spesies Hominid telah tinggal di kepulauan Asia Tenggara dan sampai di Pulau Jawa lebih dari 1,5 juta tahun yang lalu. Saat ini hubungan dari fosil, undakan, dan umur manusia purba masih menjadi perdebatan hangat.
Fosil mamalia yang ditemukan pada situs Ngandong yang sama setelah diuji menggunakan tes seri uranium menunjukkan umur sangat muda, yaitu sekitar 53 sampai 27 ribu tahun yang lalu. Temuan ini memercik perdebatan mengenai tafonomi formasi fosil Ngandong dan konteks sedimentologi dari material yang diuji.
Beberapa uji penanggalan yang dilakukan pada fosil-fosil yang ada di area sekitar juga menunjukkan kronologi yang inkonsisten. Untuk menjawab pertanyaan ini, Yan Rizal dari Program Studi Geologi, Institut Teknologi Bandung, bersama tim ilmuwan dari berbagai negara, membuat pemodelan Bayesian dari 52 umur radiometrik.
Dalam publikasi ilmiah pada edisi Desember 2019 jurnal Nature, Yan Rizal dan Kira E. Westaway dari Departemen Ilmu Kebumian dan Lingkungan Universitas Macquarie, dan beberapa ilmuan lainnya, untuk pertama kalinya berhasil menunjukkan konsensus kronologi kejadian untuk level regional, lembah, dan lokal dari situs Ngandong.
Pada proses penelitian, para ilmuwan menerapkan konteks lanskap dengan menggunakan penanggalan seri-Uranium pada ornamen-ornamen gua (speleothem) untuk menyusun sekuensi kronologi dari gerak lempeng tektonik yang mengakibatkan perubahan arah aliran sungai Bengawan Solo. Aliran sungai yang sekarang mengarah ke Gunung Kendeng ini mengakibatkan timbulnya sekuensi dari strata undakan.
“Kami menggunakan Uranium-series dating dari ornamen gua untuk mendapatkan gambaran dari evolusi lanskap daerah,” kata Yan Rizal, penulis pendamping dari publikasi ilmiah di jurnal Nature, dikutip dari laman ITB, Selasa, 28 Maret 2023.
Kemudian, untuk menyusun konteks utama, tim penelitian mengaplikasikan teknik penanggalan red thermoluminescence, post-infrared infrared luminescence, dan Argon40/Argon39 pada inti dari sedimen lokal yang melingkupi seluruh potongan sekunsi, yaitu pada undakan Kerek (atas), Padasmalang (tengah), dan Ngandong (bawah), Sembungan (bawah, digabungkan dengan Ngandong).
Selain menggunakan pencahayaan Argon40/Argon39, penanggalan seri-Uranium juga dilakukan untuk mendapatkan gambaran urutan perubahan inti sedimen. Metode spin-electron serial resonance (US-ESR) juga diaplikasikan pada fosil bukan manusia untuk menentukan usia dari spesimen re-ekskavasi Ngandong.
Para peneliti menemukan jika pada sekitar 500 ribu tahun yang lalu, sungai Bengawan Solo berubah arah menuju Gunung Kendeng. Perubahan arah aliran sungai ini mengakibatkan terbentuknya undakan baru pada sungai Bengawan Solo pada 316 sampai 31 ribu tahun yang lalu.
Undakan Ngandong sendiri diperkirakan terbentuk antara 140 sampai 92 ribu tahun yang lalu. Fosil bukan manusia yang ditemukan di situs Ngandong menunjukkan usia antara 109 sampai 106 ribu tahun dengan metode seri-Uranium dan 117 sampai 108 ribu tahun dengan metode US-ESR.
“Melalui pemodelan usia, fosil Homo erectus ditentukan memiliki berusia antara 117 sampai 108 ribu tahun yang lalu, usia ini bertepatan dengan waktu terjadinya banjir,” ucap Yan Rizal.
Penelitian ini mengategorikan situs Ngandong dalam tiga periode konteks: lanskap Gunung Kendeng, undakan Sungai Bengawan Solo, dan formasi fosil Ngandang. “Dengan mempertimbangkan jika fosil berusia 117,000 sampai 118,000 tahun, formasi fosil Ngandong berhasil diasumsikan untuk berada pada posisi yang tepat dari sekuensi biostratigrafi spesies hominid di kepulauan Asia Tenggara,” jelas Rizal.
Temuan ini juga mematahkan argumen tentang jangkauan usia yang ekstrem yang mengatakan jika fosil-fosil Ngandong ‘terlalu muda’, sehingga mendorong opini yang membuka peluang jika fosil-fosil ini pantas berada di periode era modern manusia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id.
Baca juga: Berkat OSN, Anak Perajin Peci Kini Jadi Senior Vice President Bukalapak |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News