Kedua peneliti itu merancang prototipe Algaetree, yakni teknologi dekarbonisasi untuk mengatasi produksi karbon atau CO2 di udara terbuka. Berkat hasil kerja sama dengan startup PT Algatech Nusantara, prototipe tersebut berhasil dikembangkan menjadi produk bernama Microforest 100.
CO2 akan diserap dan diproses melalui metabolisme yang melibatkan protein, lemak, dan karbohidrat dalam jumlah besar. Selain itu, mikroalga mudah bertahan hidup di daerah berpolusi, suhu ekstrem, bahkan udara beracun.
Eko menuturkan mikroalga masih memiliki potensi dikembangkan menjadi produk olahan lain, seperti bahan bakar bioenergi. Dia berharap potensi tersebut dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
“Dengan begitu, pengurangan emisi karbon dapat berlangsung secara masif dalam mengatasi perubahan iklim,” kata Eko dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 28 Juni 2024.
Peluncuran instalasi Microforest 100 diselenggarakan di Masjid Raya Syeikh Zayed Solo pada Senin, 17 Juni 2024. “Instalasi setinggi dua meter tersebut berfungsi untuk menyerap karbon di udara dengan teknologi fotobioreaktor,” papar CEO Algatech Nusantara, Rangga Wishesa.
Rangga menyebut PT Algatech Nusantara menyambut baik kerja sama pengembangan prototipe peneliti UGM. Startup tersebut membantu menambahkan beberapa fitur pelengkap seperti pengembangan desain, fabrikasi dan penambahan alat-alat sensor kondisi kultivasi agar Microforest mampu bekerja secara maksimal.
Menurutnya, sistem di dalam Microforest 100 akan menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, bahkan setara dengan lima pohon dewasa berumur sekitar 15 tahun. Hal ini didasarkan pada kemampuan mikroalga yang dapat menyerap karbon dioksida 30-50 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan tanaman terestrial saat ini.
Penempatan pertama Microforest 100 di Masjid Raya Syeikh Zayed dirasa cocok karena tingginya tingkat pengunjung masjid tersebut. Alat ini diletakkan di ruangan terbuka supaya dapat menyerap CO2 yang dihasilkan pengunjung.
Direktur Masjid Raya Syeikh Zayed, Munajat, mengatakan masjid bisa saja menjadi salah satu fasilitas publik yang ramai dikunjungi dan menghasilkan banyak emisi karbon. Apalagi, Masjid Raya Syeikh bisa menerima puluhan ribu pengunjung setiap harinya.
“Peluncuran Microforest 100 ini sekaligus memantau sejauh mana mesin bisa bertahan menyerap karbon untuk nantinya menjadi bahan pengembangan lebih lanjut,” kata dia.
Peluncuran Microforest 100 dihadiri inovator dari peneliti UGM, Direktur Masjid Raya Syeikh Zayed, perwakilan direksi PT Algatech, serta Wakil Wali Kota Surakarta, Teguh Prakosa. Turut hadir perwakilan dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk melihat teknologi Microforest 100 diterapkan pertama kali di masjid Indonesia.
Rencananya, jika terbukti efektif menyerap karbon dalam jumlah besar, Microforest 100 akan dikembangkan lebih lanjut untuk diletakkan di tempat-tempat ibadah seperti Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi.
Teknologi ini diinisiasi oleh dua peneliti UGM yang merupakan peneliti Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUIPT) Microalgae Biorefinery UGM melalui program dana pendamping dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui platform Kedaireka Tahun Anggaran 2022.
Baca juga: Sulap Limbah Sekam Padi Jadi Material Carbon Capture, Mahasiswa UGM Sabet Juara 1 Lomba Esai Nasional |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News