Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi Sarah. DOK BRIN
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi Sarah. DOK BRIN

Peneliti BRIN Ungkap Daerah Rawan Dampak Amblesan Tanah Pantura

Renatha Swasty • 11 Januari 2024 18:12
Jakarta: Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi Sarah, mengungkap hasil riset mengenai ancaman amblesan tanah atau land subsidence di Pantai Utara Jawa (Pantura). Fenomena amblesan tanah merujuk pada penurunan muka tanah yang disebabkan oleh pergerakan material di bawah permukaan.
 
Fenomena ini seringkali berlangsung perlahan, sulit terdeteksi langsung di lapangan. Namun, memiliki dampak signifikan dan menjadikannya sebagai bahaya tersembunyi atau silent hazard.
 
"Nah, proses penurunan tanah ini berjalan sangat lambat dalam order mungkin milimeter hingga sentimeter per tahun sehingga sulit dikenali di lapangan. Namun dampaknya terasa nyata sehingga kita menyebutnya land subsidence sebagai silent hazard," ungkap Sarah dalam Seminar Nasional “Strategi Perlindungan Kawasan Pulau Jawa, Melalui Pembangunan Tanggul Pantai dan Tanggul Laut (Giant Sea Wall)” dikutip dari laman brin.go.id, Kamis, 11 Januari 2024.

Berdasarkan penelitian, land subsidence bukan masalah lokal semata. Lebih dari 200 lokasi di 34 negara, khususnya di daerah pesisir, mengalami amblesan tanah.
 
Penyebabnya dapat berasal dari faktor alami seperti tektonik, kompaksi alami endapan yang masih muda, serta faktor antropogenik seperti eksploitasi air tanah berlebihan dan penambahan beban di permukaan.
 
Daerah rawan amblesan tanah meliputi Pantai Utara Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Endapan-endapan seperti endapan aluvial, endapan danau, gambut, dan tanah organik yang masih muda atau berumur kuarter menjadi kriteria khusus yang rawan terhadap fenomena ini.
 
Sarah menjelaskan amblesan tanah tidak hanya terjadi di Pantura, namun potensi serupa mungkin juga mengancam daerah lain di Indonesia di masa mendatang. Pantura Jawa, secara geologi, terdiri dari endapan aluvial berumur muda hingga berumur kuarter, yang meliputi wilayah dari Jakarta hingga Surabaya.
 
"Pantura Jawa secara geologi, Pantura Jawa tersusun oleh endapan aluvial berumur muda, berumur kuarter yang tersebar dari Jakarta, Indramayu, Semarang, Demak hingga ke Surabaya," beber dia.
 
Sarah menyebut amblesan tanah di Pantura Jawa telah terjadi sejak beberapa dekade lalu, dimulai dari 1970-an di Jakarta, 1980-an di Semarang, dan 1985 di Pekalongan. Proses ini telah berlangsung cukup lama dan masih terus berlanjut hingga saat ini.
 
Berdasarkan pemantauan Global Navigation Satellite System (GNSS), hotspot titik-titik di kota-kota Pantura yang rawan terhadap amblesan, seperti Jakarta, Bekasi, Cirebon, Pekalongan, Kendal, Surabaya, Sidoarjo.
 
Sedangkan, berdasarkan pemantauan dengan metode Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR) pada 2007 hingga 2009, terlihat amblesan tanah di Jakarta cukup tinggi antara 5 hingga 15 cm per tahun dan juga sudah muncul fenomena amblesan di kabupaten dan kota Bekasi dengan laju 2 hingga 3 cm.
 
"Pemantauan terkini dari 2015 hingga 2020 menunjukkan adanya perlambatan laju subsidence di Jakarta yaitu ditemukan hingga maksimal 5 cm per tahun. Sementara di daerah Bekasi laju subsidence-nya meningkat hingga mencapai 2 hingga 5 cm per tahun," sebut dia.
 
Sarah menyampaikan tim periset BRIN melakukan investigasi in situ yang mengungkap kondisi bawah permukaan di beberapa daerah. Ini memberikan gambaran penting terkait fenomena amblesan tanah dan implikasinya.
 
Di Jakarta Utara, batuan sediment berumur muda yang dominan terdiri dari endapan batu lempung yang tebal dengan sisipan pasir tipis. Meskipun laju amblesannya telah menurun, namun tetap terlihat adanya amblesan tanah di peta, menandakan potensi terkompaksinya secara alami.
 
Sementara itu, hasil investigasi di Pekalongan menunjukkan kondisi bawah permukaannya didominasi oleh endapan lempung dengan sisipan pasir dan tanah organik, yang secara gradual dari selatan ke utara, menunjukkan penurunan daya dukung dari menengah hingga rendah.
 
Fenomena amblesan ini tidak hanya terpusat di Kota Pekalongan, tetapi juga telah meluas ke wilayah barat, masuk ke daerah Kabupaten Pekalongan. Sedangkan, untuk di Semarang dan Demak, hasil penelitian menunjukkan amblesan tanah didorong oleh faktor alami dan antropogenik.
 
"Di Semarang, laju kompaksi alamiah sangat kecil, sehingga amblesan tanah dipicu oleh faktor antropogenik. Di Demak, laju amblesan alami bisa mencapai 2 cm, menunjukkan pengaruh kedua faktor tersebut," papar dia.
 
Sarah mengatakan potensi bencana di Pantura akibat amblesan tanah, dengan laju antara 5 hingga 10 cm per tahun, berdampak pada kenaikan permukaan laut sebesar 3-10 mm per tahun, meningkatkan potensi banjir rob dan kerusakan infrastruktur.
 
Dia menekankan diperlukan strategi jangka pendek dan panjang yang perlu diterapkan untuk menanggulangi bahaya ini. Strategi jangka pendek mencakup penanggulangan dampak segera seperti banjir, sementara jangka panjang mempertimbangkan pengurangan laju amblesan.
 
"Ini bisa dilakukan melalui kombinasi mitigasi struktural (pembangunan struktur penahan banjir) dan non-struktural (manajemen air, penggunaan air permukaan, zona konservasi air tanah), serta pemantauan terus-menerus terhadap amblesan tanah dan muka air tanah," jelas dia.
 
Temuan riset ini memberikan pandangan mendalam tentang kondisi bawah permukaan dan potensi amblesan tanah di wilayah Pantura. Selain itu, memberikan dasar penting untuk strategi mitigasi dan perlindungan terhadap fenomena amblesan tanah yang mengancam wilayah tersebut.
 
Baca juga: Ribuan Hektare Lahan Perkebunan di Bangkalis Amblas Terdampak Abrasi

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan