Guru Besar Fisika Teori IPB University, Husin Alatas. DOK IPB
Guru Besar Fisika Teori IPB University, Husin Alatas. DOK IPB

Durasi Puasa Berbeda di Tiap Wilayah, Ini Penjelasan Guru Besar IPB

Renatha Swasty • 11 Maret 2025 19:03
Jakarta: Puasa merupakan ibadah yang memiliki aturan waktu jelas, dimulai saat terbit fajar dan berakhir saat matahari terbenam. Namun, durasi waktu puasa berbeda di tiap wilayah, bahkan dalam satu negara.
 
Waktu harian berpuasa ditentukan oleh pergerakan semu matahari yang dilihat oleh pengamat di bumi. Sementara itu, penentuan awal dan akhir Ramadan didasari pada pergerakan sinodik bulan dalam mengorbit bumi.
 
Guru Besar Fisika Teori IPB University, Husin Alatas, menjelaskan perbedaan durasi puasa di setiap tempat disebabkan matahari terlihat terbit dan terbenam pada waktu berbeda. Hal ini terjadi karena bumi berputar dan bergerak mengelilingi matahari, sehingga lama siang dan malam bisa bervariasi di berbagai daerah.

Ia menjelaskan pergerakan semu harian matahari dipengaruhi oleh gerak rotasi bumi dan gerak orbit bumi mengelilingi matahari. Akibat dari rotasi bumi, pengamat di bumi akan melihat silih bergantinya siang dan malam.
 
“Sementara itu, untuk gerak orbit bumi, karena poros rotasi bumi membentuk sudut 23,5 derajat terhadap bidang ekuatorial orbit, maka panjang hari di bulan-bulan yang berbeda dapat berbeda secara signifikan untuk wilayah-wilayah di bumi yang tidak berada tepat di garis khatulistiwa,” papar Husin, Selasa, 11 Maret 2025.
 
Husin mengatakan untuk mengetahui pergerakan semu harian matahari, penentuan waktu subuh dilakukan melalui pengamatan terhadap kemunculan fenomena fajar. Fenomena ini terjadi saat sinar dari matahari yang masih berada di bawah horizon sudah direfleksikan oleh atmosfer bumi.
 
“Cahaya ini terlihat sebagai garis tipis berwarna kebiruan di horizon timur dan berangsur berubah menjadi kuning seiring dengan naiknya posisi matahari,” tutur dia.
 

Warna biru yang tampak saat fajar disebabkan oleh terjadinya peristiwa hamburan Rayleigh yang merefleksikan cahaya dengan panjang-gelombang pendek (berwarna biru) lebih banyak dengan sudut hamburan yang besar dibandingkan dengan panjang-gelombang lain yang lebih panjang.
 
“Waktu subuh berakhir saat piringan matahari mulai terlihat di horizon timur, menandai terbitnya matahari,” ujar Husin.
 
Husin menuturkan fenomena penampakan cahaya juga terjadi sebelum fenomena fajar yang disebut sebagai fenomena fajar palsu (false dawn). Fenomena ini terjadi karena adanya refleksi sinar matahari akibat debu antarplanet di luar atmosfer bumi.
 
“Berbeda dengan fajar yang memiliki pola horizontal, fajar palsu memiliki bentuk menjulang vertikal ke atas dan relatif lebih samar ketimbang cahaya fajar,” ujar dia.
 
Sementara itu, waktu magrib ditentukan dengan pengamatan hilangnya piringan matahari di horizon barat, menandai terbenamnya matahari.
 
Saat matahari terbenam dan berada di bawah horizon barat, tidak berarti sinarnya langsung menghilang karena terhalang bumi. Tetapi, masih ada yang direfleksikan oleh atmosfer bumi.
 
“Saat sinar yang direfleksikan tersebut menghilang, maka berakhirlah waktu magrib yang ditandai dengan hilangnya mega merah di langit,” papar dia.
 
Panjang-gelombang merah yang tampak oleh pengamat saat matahari terbenam disebabkan karena panjang-gelombang panjang sedikit dihamburkan atmosfer bumi. “Sementara yang lebih pendek sudah terhambur terlebih dahulu melalui mekanisme hamburan Rayleigh, sehingga tidak terlihat oleh pengamat,” ujar Husin.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan