Asmarani menuturkan alat yang dikembangkan sejak 2015 hingga 2017 ini telah dipatenkan. Alat ini terdiri dari sepasang primer, yakni primer forward dan primer reverse.
"Primer ini terdiri dari basa nitrogen, guanin, sitosin, timin, serta adenin," kata Asmarani mengutip laman UGM, Senin, 20 April 2020.
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) ini menjelaskan, masing-masing primer untuk stereotipe DENV-3 dan DENV-4, baik primer forward dan primer reserve, memiliki panjang sekuen urutan basa yang berbeda. Sementara, primer deteksi virus dengue stereotipe DENV-3 menghasilkan produk hasil amplifikasi berukuran 196 bp. Sedangkan primer deteksi virus dengue stereotipe DENV-4 menghasilkan produk hasil amplifikasi berukuran 144 bp.
Asmarani mengatakan primer untuk deteksi virus dengue stereotipe DENV-3 dan primer untuk deteksi virus dengue stereotipe DENV-4 sekaligus digunakan secara baik dengan metode Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Lateral Flow Immunoassay (LFIA), dan Nucleic Acid Sequence Based-Amplification (NASBA).
Baca: Inovasi Mahasiswa UNY, Kulit Salak Jadi Salep Antibau Kaki
Dia menyebut alat ini telah diuji efektivitasnya dalam melakukan deteksi virus dengue. Hasilnya, primer dapat membaca atau mendeteksi keberadaan virus dengue dalam waktu kurang dari 1 hari.
"Alat ini bisa mendeteksi sejak awal ketika terdapat virus dengue, efektivitasnya 100 persen dan hasilnya bisa terlihat paling lama 24 jam," terangnya.
Asmarani berharap hasil penelitiannya ini tidak hanya bisa membantu mendeteksi keberadaan virus dengue. Namun, alat ini diharapkan mampu membantu upaya pengendalian penyebaran virus dengue sehingga bisa menekan kasus DBD di Tanah Air.
"Virus dengue serotipe DENV-3 sampai saat ini dominan terdapat di Indonesia. Dengan adanya primer ini diharapkan dapat mendeteksi keberadaan viris dengue serotipe DENV-3 dan 4 secara dini sehingga bisa membantu penanganan pasien DBD dengan baik,"tuturnya/
Ia menegaskan Indonesia bukan hanya dihadapkan pandemi virus korona (covid-19), tapi juga penyakit DBD. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sejak 1 Januari sampai 4 April 2020, ada 39.876 kasus DBD dan 254 kematian.
"DBD masih menjadi ancaman serius yang terus mengintai masyarakat Indonesia. Setiap tahunnya selalu muncul kasus penyakit yang ditularkan nyamuk Aedes aegypti ini," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News