Gelar tersebut diraihnya setelah melakukan penelitian formulasi konsorsium bakteri pembentuk granula sebagai biosorben tembaga. Di mana penelitian tersebut dapat menjadi solusi pencemaran lingkungan akibat tembaga.
"Tembaga merupakan salah satu pencemar yang paling banyak di Indonesia. Hasil laporan penelitian menunjukkan beberapa sungai di Indonesia sudah tercemar tembaga melebihi ambang batas," kata Ira dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, 27 Januari 2024.
Ia menyampaikan, kasus pencemaran yang paling parah terjadi pada tahun 1996, yaitu di Pantai Timur Surabaya. Diketahui hasil penelitian menunjukkan ikan dan kerang di sekitar pantai tersebut telah mengandung tembaga dengan kandungan dua sampai lima kali lipat dari ambang batas yang diperbolehkan oleh World Health Organization (WHO).
Untuk menghadapai pencemaran itu, ia menegaskan Indonesia mesti mengedepankan metode pengolahan limbah dengan biologis atau bioremediasi. Metode ini paling ekonomis dan juga ramah lingkungan.
"Hal ini menjadi dasar penggunaan bakteri indigen dalam menangani limbah tembaga. Tingkat keberhasilan metode bioremediasi ini memiliki tingkat keberhasilan yang baik dengan menggunakan konsorsium bakteri," tutupnya.
Di samping itu, Rektor UPH, Jonathan L. Parapak, mengapresiasi capaian Ira. Ia berharap Ira dapat mendorong perbaikan lingkungan dari sisi akademis.
"Isu lingkungan, suatu aspek yang sangat relevan dengan situasi saat ini di Indonesia dan global. Penelitian ini menjadi angin segar yang akan menunjang program pemerintah demi menanggulangi pencemaran lingkungan khususnya tembaga," tutup Jonathan.
Baca juga: Guru Besar Unpad Sebut Politik di Media Sosial Kerap Mengabaikan Norma |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News