Diskusi panel Konferensi Internasional Preservasi Bahasa dan Sastra. DOK BRIN
Diskusi panel Konferensi Internasional Preservasi Bahasa dan Sastra. DOK BRIN

Penggunaan Bahasa Daerah Berkurang, Pelestarian Diusulkan Lewat Penamaan Gedung hingga Tempat Wisata

Renatha Swasty • 24 Februari 2025 22:08
Jakarta: Hasil kajian dan studi periset bahasa dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta perguruan tinggi menunjukkan berkurangnya penggunaan bahasa daerah. Peneliti mendorong pelestarian bahasa daerah melalui penamaan gedung, tempat wisata, hingga melalui guru di sekolah. 
 
Riris Mutiara Paulina Simamora dari Universitas Indonesia melakukan kajian onomastika dalam upaya pelestarian struktur sistem sosial politik dalam penamaan desa di pulau Samosir. Riris menjelaskan pelestarian tradisi dan budaya pada suku Batak di Samosir masih sangat kuat. 
 
Sejak menjadi kabupaten sendiri, desa-desa di Samosir menghadapi berbagai tantangan. Salah satu isu mengenai huta (sebutan untuk nama desa atau kota), muncul ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan data, melalui instruksi presiden dan instruksi gubernur ke masing-masing kecamatan. 

Hal ini sulit diterapkan di tanah Batak karena huta memiliki makna etnografi. Huta dibentuk berdasarkan keturunan dan kekerabatan. Sementara itu, desa-desa di Indonesia dihuni oleh berbagai orang, yang umumnya tidak berasal dari garis keturunan yang sama.
 
Seiring berjalannya waktu, meskipun adanya kedatangan Belanda ke Pulau Samosir dan terbentuknya Indonesia sebagai kekuatan pemersatu, beberapa huta Batak masih mempertahankan sistem ini. Salah satunya dengan melestarikan penamaan huta, lumban, dan sosor.
 
Dalam penelitiannya, ditemukan pada 20 desa di Pulau Samosir. “Semua nama diambil dari bahasa lokal atau Batak. Maka perlu pelestarian nama huta yang berfungsi untuk menjaga kelangsungan ikatan sosial dan budaya, meskipun beberapa desa sekarang memiliki klan yang berbeda-beda,” jelas Riris dalam diskusi panel Konferensi Internasional Preservasi Bahasa dan Sastra dikutip dari laman brin.go.id, Senin, 24 Februari 2025. 
 
Selanjutnya, Wati Kurniawati bersama timnya para peneliti BRIN memaparkan hasil risetnya tentang penggunaan bahasa pada nama apartemen di Jakarta Pusat. Wati mengatakan ada beragam suku bangsa mendiami wilayah kota ini sehingga masyarakatnya heterogen. 
 
Hasil risetnya menunjukkan penggunaan bahasa pada nama apartemen di Jakarta Pusat tampak bervariasi, yaitu menggunakan bahasa Indonesia, Inggris, Tibet, Italia, Spanyol, Hungaria, dan Perancis kuno. Sementara itu, penggunaan bahasa daerah tidak ditemukan. 
 
Ia menyayangkan di wilayah ini tampak gedung-gedung menjulang tinggi dan megah dengan nama-nama yang didominasi bahasa asing. Wati menilai ini sangat memprihatinkan.
 
Dia mengatakan apabila dibiarkan akan memengaruhi sikap berbahasa generasi sekarang maupun di masa mendatang. Ia berharap pengembang dan penyusun bahasa pada nama apartemen bersikap positif terhadap bahasa Indonesia.
 
Baca juga: Gen Z Lebih Sering Gunakan Bahasa Inggris, Bahasa Daerah Terancam Punah  

Sedangkan, Evi Maha Kastri, yang juga peneliti BRIN, melakukan riset tentang budaya transformasi warisan dan modernisasi, dengan analisis pragmatis-semantik pada nama pantai di Kabupaten Pesawaran dan Tanggamus, Provinsi Lampung. Nama-nama pantai di Tanggamus dan Pesawaran merepresentasikan kekayaan keanekaragaman hayati pantai, warisan budaya, bentuk geografi, dan pengaruh modernisasi. 
 
Dia menuturkan konservasi keanekaragaman hayati pantai melibatkan kosakata flora dan fauna berbahasa daerah setempat. Ini memperlihatkan dahulu, kehidupan masyarakat adat bergantung pada keberadaan pantai-pantai tersebut. 
 
Evi menjelaskan pola penamaan dipengaruhi oleh faktor sejarah, mitologi, dan komersialisasi pariwisata. Penelitian ini juga untuk melihat perubahan sikap pemilik pantai secara komersial menggunakan nama-nama daerah.
 
Hal itu untuk mencirikan kepemilikan pantai mereka masing-masing, baik dengan cara modifikasi, maupun mengubah nama secara keseluruhan. Penelitian ini mengisi kesenjangan riset dalam studi toponimi di Lampung dan memberikan wawasan baru tentang hubungan antara linguistik, budaya, dan ekonomi dalam penamaan geografis. 
 
Hasilnya dapat menjadi dasar bagi pengelolaan pariwisata yang lebih berkelanjutan serta pelestarian identitas budaya lokal. Masruddin Asmid bersama timnya dari IAIN Palopo menawarkan studi tentang persepsi guru terkait pelaksanaan program revitalisasi bahasa di Luwu Raya. 
 
Ia mengungkapkan fenomena kepunahan bahasa daerah di Indonesia telah menjadi perhatian utama bagi para ahli bahasa dan pembuat kebijakan. Dalam risetnya, ia menyoroti peran penting yang dimainkan guru dalam mendorong pelestarian bahasa daerah melalui pengajaran kelas yang terstruktur, kegiatan ekstrakurikuler, dan keterlibatan budaya. 
 
Menurutnya, terlepas dari dampak positif dari program ini, guru menghadapi tantangan penting. Termasuk akses terbatas ke sumber daya pengajaran, kesempatan pelatihan yang tidak memadai, dan penurunan jumlah penutur asli.
 
“Program revitalisasi bahasa di Luwu Raya dapat diperkuat. Ini untuk memastikan kelestarian bahasa daerah yang berkelanjutan untuk generasi mendatang,” jelasnya. 
 
Masruddin menyebut studi yang dilakukannya berkontribusi pada wacana lebih luas tentang pelestarian bahasa di Indonesia. Fungsinya sebagai landasan untuk penelitian lebih lanjut tentang strategi revitalisasi bahasa yang berkelanjutan. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan