Sejumlah anak menyaksikan film layar tancap di kawasan Sawangan, Depok, Sabtu (11/7/2020) malam. Foto: MI/Fransisco Carolio Hutama Gani
Sejumlah anak menyaksikan film layar tancap di kawasan Sawangan, Depok, Sabtu (11/7/2020) malam. Foto: MI/Fransisco Carolio Hutama Gani

Sidik Jari Politik Terpotret pada Tokoh Anak di Sejumlah Film Indonesia

Medcom • 23 Juli 2020 14:34
Jakarta: Sineas Indonesia ternyata pintar menyelipkan karakter rezim politik di film-filmnya. Karakter-karakter itu terpotret pada tokoh anak di beberapa film Indonesia.
 
Temuan ini didedah secara detail oleh pengajar di Departemen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, IGAK Satrya Wibawa. Berikut tulisan lengkap yang pertama kali dimuat di The Conversation:
 
Kajian mengenai representasi anak dalam sinema di Cina, Jerman, dan India mengaitkan tokoh anak-anak sebagai representasi ideologi dominan dari rezim politik yang berkuasa di negaranya.


Riset saya mengenai anak-anak dan representasi dalam sinema Indonesia pada tahun 2019 menemukan bahwa kecenderungan tersebut juga terdapat dalam sinema Indonesia.

Dari tahun 1951 hingga 2019, industri sinema Indonesia sudah memproduksi setidaknya 93 film bergenre anak-anak. Pada periode tersebut, setidaknya terjadi tiga kali pergantian rezim politik yang mengusung arah ideologi dan sistem politik yang yang berbeda.
 
Dari semua film yang ada, saya melihat pola di mana tokoh anak merefleksikan ideologi politik rezim yang berkuasa dan hal itu nyata di ketiga periode tersebut:
 

1. Nasionalisme dan trauma perang pada periode 1951 - 1965
 
Pada periode dua dekade awal kemerdekaan ini, film menampilkan tokoh anak-anak dalam konteks narasi nasionalisme dan revolusi kemerdekaan.
 
Lalu dokumentasi sejarah ditampilkan sebagai bagian dari cerita fiksi.
 
Si Pintjang (1951) dirilis dua tahun setelah Perang Kemerdekaan berakhir pada 1949, menampilkan tokoh Giman yang digambarkan sebagai yatim piatu korban perang. Giman hidup di jalanan hingga bertemu seorang Yudono, mantan pejuang kemerdekaan. Yudono membuat penampungan anak jalanan dan menanamkan rasa bela negara melalui baris berbaris dan menghormati simbol negara.
 
Lalu ada film Djenderal Kantjil (1958). Dalam film tersebut, ada anak bernama Arman yang terobsesi menjadi jenderal dan mempunyai pistol mainan sebagai identitasnya. Tiap hari Arman selalu parade keliling kampung dengan pasukan perangnya. Kampung mereka tiap malam kemalingan, sampai Arman dan pasukannya menangkap si maling. Keberhasilan Arman dirayakan warga tapi disesali bapaknya. Ia menilai Arman dan pasukannya menimbulkan keributan sehingga harus dibubarkan.
 
Nasionalisme terasa kental pada kedua film itu. Hal ini senada dengan ideologi nasionalis dan revolusi presiden Soekarno.
 
Saat itu, pemerintah perlu menertibkan situasi tidak stabil pada masa awal kemerdekaan. Untuk memulihkan situasi, film-film anak tersebut menekankan peran dan otoritas orang dewasa sebagai yang mewakili negara.
 
Hubungan antara orang dewasa dan anak-anak muncul di film sebagai simbolisasi hubungan negara dan warganya. Karakter anak-anak digambarkan sebagai pemberontak melawan otoritas. Namun konsekuensinya, mereka dianggap memunculkan ketidakteraturan, sehingga perlu ditata. Film-film ini menggambarkan karakter anak-anak sebagai simbol nasionalisme dalam konteks awal berdirinya negara Indonesia secara formal.
 
Film-film anak tersebut juga memunculkan rasa trauma perang. Si Pintjang menggambarkan anak-anak korban perang menjadi gelandangan diabaikan negara. Sementara Djenderal Kantjil menampilkan trauma konflik militer bersenjata.

 
 
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan