Inovasi melalui hilirisasi batubara padat menjadi cair dan sintesis bioaditif pada bahan bakar fosil bersulfur rendah. Guru Besar Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Analitika Data (FSAD) ITS itu menyebut tingkat impor bahan bakar minyak di Indonesia semakin meningkat.
Padahal, sebenarnya Indonesia masih banyak memiliki sumber daya selain minyak bumi. “Salah satu alternatifnya adalah batubara yang dapat diolah hingga memiliki kemiripan sifat dengan minyak bumi,” tutur Yulfi saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besar melalui siaran pers, Selasa, 9 Januari 2023.
Dia menjelaskan pengolahan batubara berpotensi menjadi alternatif bahan bakar minyak setelah melalui proses pencairan. Pencairan tersebut merupakan upaya untuk memecah makromolekul batubara padat menjadi cair hingga memiliki rasio hidrogen per karbon yang mendekati minyak fosil.
Setelah proses yang disebut hidrogenasi tersebut, akan diperoleh batubara dengan rasio hidrogen per karbon berkisar 1,2-1,8 dari yang semula hanya sebesar 0,3–0,9. Yulfi juga mengulas proses hidrogenasi.
Ini dimulai dari mempersiapkan materi yang akan diolah dengan cara menghancurkan batubara hingga menjadi partikel-partikel kecil dengan ukuran 200 mesh atau setara 0,074 milimeter. Setelahnya, partikel tersebut akan dicampurkan dengan beberapa zat, di antaranya pelarut minyak berat, katalis limonit SH, serta katalis belerang dan gas hidrogen.
Campuran tersebut dimasukkan ke dalam reaktor pencairan batubara dan akan direaksikan pada suhu 450 derajat celsius dan tekanan sebesar 120 megapascal. Setelah melewati proses ini selama 60 menit, akan dihasilkan produk batubara yang memiliki rasio hidrogen per karbon yang diharapkan.
Selanjutnya, produk tersebut melewati proses distilasi fraksinasi pada suhu didih mulai 30-538 derajat celsius untuk mendapatkan beberapa fraksi, yakni nafta, Light Oil (LO), Middle Oil (MO), dan Heavy Oil (HO). Sayangnya, produk fraksi yang salah satunya dapat digunakan sebagai bahan bakar diesel tersebut, masih memiliki kandungan belerang cukup tinggi.
Hal itu berpotensi menimbulkan hujan asam yang dapat merusak lingkungan ketika pembakaran pada bahan bakar bersulfur tinggi. “Sehingga, diperlukan upaya desulfurisasi atau pengurangan kandungan sulfur untuk mengurangi tingkat kerusakan lingkungan,” papar Yulfi.
Yulfi mengatakan berkurangnya kandungan sulfur juga tidak bagus bagi bahan bakar tersebut. Sebab, dapat mengurangi daya lumas pada mesin yang bisa menyebabkan terjadinya aus dan menurunnya performa mesin.
Untuk mengatasi hal tersebut, alumnus program doktoral Departemen Kimia ITS tersebut juga menginovasikan penambahan zat bioaditif berupa senyawa 2-hidroksietil risinoleat dari bahan hayati. Hal ini untuk mempertahankan daya lumas bahan bakar tersebut.
Melalui serangkaian proses tersebut, akan dihasilkan suatu bahan bakar yang diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak yang terus menipis. Tak hanya sebagai sumber daya alternatif, produk inovasi tersebut juga ramah lingkungan.
Yulfi berharap inovasinya tersebut dapat terus dikembangkan menilik potensi sumber daya batubara di Indonesia.
Baca juga: Obat Baru Inovasi Profesor ITS, Antikanker dari Spons Laut Indonesia |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News