DOK Riwala
DOK Riwala

Survei Yayasan Rawinala: Hanya 1% Penyandang Disabilitas Majemuk Terima Pendidikan

Media Indonesia.com • 02 Desember 2022 18:36
Jakarta: Hari Disabilitas Internasional yang dirayakan pada Sabtu, 3 Desember 2022 ialah hari yang dinobatkan untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap penyandang disabilitas dan hak-hak mereka. Kementerian Sosial mencatat pada 2020 terdapat 22,5 juta orang penyandang disabilitas di Indonesia.
 
Ketimpangan pendidikan bagi penyandang disabilitas juga besar dengan jumlahnya yang tinggi. Publikasi Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia oleh Irwanto (2010) menyebut pendidikan konvensional di Indonesia melihat komunitas penyandang disabilitas sebagai hambatan.
 
Hal itu menciptakan lingkungan diskriminatif bagi mereka. Dalam kasusnya, ijazah penyandang disabilitas tidak dapat digunakan pada saat lamaran pekerjaan.

Yayasan Rawinala yang terbentuk sejak 1973, salah satu yayasan yang bergerak di bidang pendidikan penyandang disabilitas berupa tunanetra majemuk, menilai kurangnya hak berupa perolehan pendidikan bagi penyandang disabilitas sebagai masalah serius.
 
"Rawinala tahu bahwa penyelenggaraan pendidikan disabilitas di Indonesia masih sangat minim. Jadi, anak-anak tunanetra majemuk di SLB semua harus diterima, tetapi kenyataannya memang penyediaan SDM belum memadai," ujar Wakil Direktur Bidang Penelitian dan Pengembangan Rawinala Mazmur kepada Media Indonesia, Jumat, 2 Desember 2022.
 
Mazmur mengungkapkan data yang dihimpun Rawinala menunjukkan hanya 1 persen penyandang disabilitas tunanetra majemuk yang memperoleh pendidikan. "Jadi, dari sisi Rawinala, kami sudah concern. Sebetulnya, kita mendapatkan info bahwa setidaknya di Indonesia ada 30 ribu anak MDVI. Yang bisa sekolah hanya 1 persen atau 300 orang. Di kalangan kita, ini angka reasonable, karena untuk SLB yang fokus untuk anak tunanetra majemuk di Jawa hanya sekitar 5 dan di luar Jawa hanya 1," papar Mazmur.
 
Mazmur menyebut dengan minimnya pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas terutama tunanetra majemuk, kemandirian dan kemampuan untuk bertahan hidup ke depan menjadi semakin susah. Kebergantungan kepada orang tua dan lingkungan menjadi salah satu faktornya.
 
Mazmur mengungkapkan penolakan dari orang tua dan lingkungan juga menjadi salah satu masalah dalam pelibatan anak tunanetra majemuk di dunia pendidikan.
Terpenting, paradigma orang tua mengenai disabilitas.
 
Dia menyebut pandangan mengenai anak disabilitas di kota mungkin sudah berubah. Namun, pandangan mengenai anak disabilitas di desa, ialah mengenai kutuk, dosa, mendatangkan malu, atau begitulah adanya.
 
"Kalau diupayakan menjadi sesuatu yang tidak berguna. Jadi, itu murni mengenai sudut pandangnya masyarakat mengenai disabilitas. Hal itu dihubungkan dengan dosa, kutuk, jadi itu mendatangkan rasa malu, dan ditutupi," tutur Mazmur.
 
Dia mengungkapkan Rawinala sudah mengenal beberapa pemerhati disabilitas untuk mencari data mengenai MDVI. Lalu, pihaknya mengadakan pendekatan kepada orang tua, tetapi orang tua menolak dan marah.
 
Padahal, kata dia, dengan anak-anak penyandang tunanetra majemuk menerima pendidikan dasar mengenai keterampilan dasar bertahan hidup akan membuat mereka semakin mandiri dan mampu bertahan hidup.
 
"Nah, yang pertama sekali tujuannya membuat hari-hari mereka penuh dengan makna. Kalau tidak dilakukan apa-apa, mereka hanya dibiarkan di rumah. Jadi, mereka nyaris tidak punya interaksi sosial dan tidak punya pengalaman banyak hal," tutur dia.
 
Padahal, kata dia, anak tunanetra majemuk bila dikenalkan sesuatu mungkin tidak tahu apa-apa. Jadi, dunia mesti didekatkan kepada mereka, disentuhkan objek kepada mereka, karena mereka tidak punya visual mengenai apa pun.
 
"Yang kedua, agar di masa depan, mereka bisa mandiri menurut kemampuan masing-masing. Tadi, mungkin ada yang hanya bisa activity daily living, ada yang pada akhirnya bisa memakai pakaian. Catatannya tadi, mereka bisa mandiri," tutur dia.
 
Mazmur berharap sekembalinya dari sekolah, mereka sudah dapat melakukan kemampuan dasar untuk bertahan hidup, seperti makan sendiri, latihan ke toilet, pergi ke warung, dan aktivitas dasar lain. Oleh karena itu, peran orang tua juga menjadi vital untuk tidak menciptakan ekosistem yang membuat penyandang tunanetra majemuk menjadi terlalu bergantung.
 
Selain itu, dia berharap sudut pandang masyarakat mengenai anak disabilitas tidak dialienisasikan yang berakhir pada diskriminasi. Mazmur juga meminta atensi dan dukungan pemerintah untuk menciptakan lingkungan dengan fasilitas sarana dan prasarananya yang dapat mendukung dan memenuhi hak hak bagi penyandang disabilitas.
 
"Jadi, disabilitas itu bukan pada orangnya, tetapi lingkungan dan fasilitas yang ada. Kalau lingkungan dan cara pandang masyarakat baik-baik saja dan sarana baik-baik saja, mereka sebenarnya baik-baik saja dan mereka akan sama seperti kita," tegas Mazmur.
 
Kini, Rawinala juga ikut membuka cabang pendidikan anak tunanetra majemuk di Dolok Sanggul, Sumatra Utara. Sejak pembukaan pertama pada 10 Juni 2021, Rawinala Dolok Sanggul mendidik tidak kurang dari tujuh anak dengan menyiapkan berbagai guru khusus dan kurikulum yang telah dikustomisasi bagi tiap anak sesuai dengan kebutuhan dan potensinya.
 
Baca juga: Menyandang Tunanetra, Triyanto Justru Jadi Pelita di MAN 4 Sleman

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan