Berdasarkan dari Jurnal Pendidikan Islam yang dipublikasikan oleh Ahmad Shidqi, Wahabi adalah istilah yang merujuk pada pengikut Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman at-Tamimi yang lahir pada tahun 1703 M/1115 H di ‘Uyainah Najd, sebuah kawasan di belahan timur wilayah kerajaan Arab Saudi saat ini.
Istilah Wahabi atau Wahabisme sebenarnya diberikan oleh orang-orang di luar aliran tersebut. Karena kaum Wahabi sendiri menyebut dirinya dengan istilah “al-Muwahhidun” atau “Ahlu at-Tauhid”, yang mencerminkan adanya keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tauhid yang menjadi landasan pokok dalam ajaran Islam.
| Baca: Said Aqil: Wahabi dan Salafi Pintu Masuk Terorisme |
Sebelumnya perlu diingat, dilansir dari laman Hasana, bahwa ayah dari Muhammad bin Abdul Wahab yakni Abdul Wahab adalah seorang ulama yang tidak sepemikiran dengan prinsip Wahabi. Ayahnya tersebut telah lama merasa janggal dengan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Bahkan saudara kandungnya sendiri yaitu Sulaiman bin Abdul Wahab secara tegas menentang pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.
Sulaiman bin Abdul Wahab menentangnya lantaran pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab digadang-gadang sebagai upaya purifikasi atau pemurnian ajaran Islam, tetapi seringkali visi tersebut hanya sebuah upaya memaksakan interpretasi beliau terhadap sumber ajaran Islam dan menganggap ijtihad yang lain sebagai racun yang merusak kemurnian Islam. Jadi, apa yang ia sebut sebagai purifikasi itu ternyata hanya upaya menganulir interpretasi yang tidak sesuai kemauannya.
Mengenal Ciri-ciri Wahabi
Wahabi dapat dicirikan berdasarkan dua sisi, yaitu pola pemikirannya dan hal-hal zahir yang seringkali melekat dan dimonopoli oleh mereka.Jika merujuk pada pemikiran pengikut Wahabi, Wahabi dapat dicirikan dengan beberapa karakter pemikiran, yaitu:
- Membenturkan simpulan dan ijtihad para ulama fikih dengan makna zahir satu dua ayat Al-Quran dan Hadis, kemudian mengajak untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadis.
- Mengusung pemikiran tekstual terhadap Al-Quran dan hadis dengan mengabaikan kaidah-kaidah bahasa, ulumul quran, ulumul hadis, dan ushul fikih.
- Seringkali terburu-buru membuat kesimpulan dengan satu hadis atau ayat Al-Quran tanpa membuat perbandingan dan konfirmasi dengan ayat dan hadis-hadis yang lain.
- Membuat batasan yang sangat sempit tentang amalan-amalan dan hubungannya dengan dalil. Maksudnya menganggap sebuah amalan tanpa dalil spesifik dan eksplisit otomatis merupakan bid’ah.
- Meremehkan taqlid pada berbagai mazhab dan ulama fikih, tetapi dalam kesempatan yang lain justru menganjurkan untuk taqlid pada ulama-ulama mereka.
- Seringkali melontarkan tuduhan tahayul, bid’ah, dan khurafat kepada pihak lain secara sembarangan.
1. Gemar memonopoli istilah sunnah, dalil, salaf, manhaj yang lurus, dan lain sebagainya.
2. Memaknai hadis semacam tentang kain di bawah mata kaki secara tekstual sehingga kebanyakan mereka menggunakan celana di atas mata kaki.
3. Menunjukkan gelagat eksklusifitas dalam banyak hal seperti penampilan dan sosial kemasyarakatan karena merasa mayoritas umat islam yang berbeda pemikiran dengan mereka sebagai orang yang tidak sempurna keislamannya.
Namun, ciri-ciri semacam ini tidak berlaku seratus persen, mengingat orang yang berafiliasi pada pemikiran Wahabi pun terbagi dalam sikap yang berbeda dalam hal interaksi mereka dengan umat Islam non-Wahabi. Ada yang sangat ekstrem, tetapi tidak sedikit pula yang mencoba moderat.
(Eka Putri Wahyuni)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News