Kebijakan ini bertujuan agar para siswa dapat lebih fokus membangun basis pengetahuan yang relevan dengan minat dan rencana studi lanjut. Menanggapi kebijakan baru Kemendikbud-Ristek tersebut, Dosen Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Tuti Budirahayu Dra MSi berpendapat, berbagai studi sosiologi tentang dampak penjurusan siswa SMA menunjukkan sisi negatif.
Terutama pada siswa yang dikotakkan pada jurusan IPS atau Bahasa. “Mereka yang masuk ke jurusan IPS dan Bahasa cenderung mendapatkan label sebagai anak-anak nakal, bandel, dan tidak secerdas anak-anak jurusan IPA,” terangnya dikutip dari laman Unair, Kamis, 25 Juli 2024.
Penjurusan tersebut kemudian dikonstruksikan oleh masyarakat sebagai bentuk stratifikasi berdasarkan karakter, kecerdasan, dan perilaku yang berbeda. Konstruksi tersebut terus berlanjut hingga siswa lulus dan melanjutkan pendidikan maupun bekerja.
“Dari sisi dampak penjurusan yang tidak menguntungkan siswa IPS dan Bahasa, saya patut mengapresiasi kebijakan Kemendikbudristek untuk menghapus penjurusan,” sebutnya.
Permasalahan Inti Pendidikan
Di sisi lain, meski dari pandangan di atas memunculkan efek positif, namun persoalan pendidikan yang sesungguhnya bukanlah pada hal tersebut. Pada beberapa sekolah yang memiliki kualitas pendidikan memadai, penjurusan tidak menghalangi siswa dengan jurusan IPS dan Bahasa sukses di perguruan tinggi.“Hal itu karena mereka memang benar-benar meminati jurusannya. Lalu belajar dengan baik, dan sekolah juga menyediakan fasilitas belajar serta guru-guru yang baik pula,” ucap Tuti.
Persoalan yang sebenarnya muncul adalah ketika setelah lulus SMA. Di mana siswa dari jurusan IPA lebih leluasa memasuki jurusan-jurusan yang tidak hanya ditujukan untuk mereka. Dengan katan lain, jurusan IPA juga dapat masuk ke dalam jurusan-jurusan yang sesungguhnya diperuntukkan bagi siswa IPS dan Bahasa.
“Terjadi diskriminasi pada siswa IPS dan Bahasa karena dianggap tidak pandai dalam berlogika, matematika atau ilmu eksakta. Inilah yang kemudian menyebabkan siswa IPS dan Bahasa berada pada strata kedua atau ketiga setelah siswa jurusan IPA,” jelas Tuti.
Lebih lanjut, Tuti menjelaskan, agar kebijakan baru Kemendikbudristek mengenai penghapusan sistem jurusan berjalan dengan baik, implementasinya harus berjalan dengan matang. Berbagai pihak, mulai dari sekolah, pemerintah, siswa, dan orang tua harus turut mendukung dan berpartisipasi.
“Sepengamatan saya tentang sistem pendidikan dan pembelajaran Kurikulum Merdeka, guru cenderung mendapat beban lebih berat. Sebaliknya, orang tua masih minim pengetahuan tentang kebijakan-kebijakan pendidikan baru di era Menteri Nadiem Makarim,” terangnya.
Akibat dari hal tersebut adalah sering terjadi kesalahpahaman antara sekolah dan orang tua. Sehingga persiapan yang matang harus pemerintah lakukan agar implementasinya memajukan pendidikan Indonesia.
Baca juga: Penghapusan Jurusan di SMA Bagian dari Implementasi Kurikulum Merdeka
|
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News