Guru besar FMIPA Universitas Indonesia (UI) Jatna Supriatna menerima penghargaan The Bosscha Medal 2023. DOK UI
Guru besar FMIPA Universitas Indonesia (UI) Jatna Supriatna menerima penghargaan The Bosscha Medal 2023. DOK UI

Mengenal Jatna Supriatna, Pahlawan Lingkungan dari UI

Renatha Swasty • 13 November 2023 16:42
Jakarta: Dosen sekaligus peneliti di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia (UI), Jatna Supriatna, dikenal juga sebagai pahlawan lingkungan. Baru-baru ini, Jatna menerima menerima penghargaan internasional, The Bosscha Medal 2023 dari Leiden-Delft-Erasmus Universities.
 
Predikat pahlawan lingkungan diberikan saat Jatna menerima penghargaan Golden Ark Award dari Pangeran Bernhard asal Belanda pada 1999. Jatna dianggap telah berjasa dan berkontribusi besar terhadap lingkungan hidup, terutama di bidang konservasi alam.
 
Berawal dari kecintaannya terhadap alam, Jatna saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) gemar mendaki gunung dan berkemah. Tempat tinggalnya di Tasikmalaya mendukung untuk menjelajahi gunung-gunung di daerah Jawa Barat.

Dari situ, dia tertarik pada keilmuan alam, seperti geologi, biologi, zoology, dan antropologi. Dia mantap memilih biologi sebagai bidang keilmuan yang digeluti.
 
Saat menempuh pendidikan sarjana, Jatna mendapat kesempatan melakukan riset tentang orang utan di Kalimantan. Selama delapan bulan, ia tinggal di tengah hutan bersama peneliti lainnya.
 
“Tempat penelitiannya jauh sekali, ada di tengah hutan. Untuk menuju kampung, butuh waktu kira-kira 1 jam perjalanan dengan perahu. Tapi, itulah yang membuat saya jatuh cinta pada bidang ini. Dari pengalaman itu, saya belajar banyak mengenai hutan, mengenai penduduk asli orang Dayak dan masih banyak lagi,” beber Jatna dalam keterangan tertulis, Senin, 13 November 2023.
 
Kecintaan Jatna pada bidang zoology membuka berbagai peluang. Dia pernah bergabung dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan terlibat dalam penelitian di Sulawesi, Papua, Sumatera, dan Kalimantan.
 
Jatna juga mendapat tawaran mengajar di Departemen Biologi FMIPA UI hingga saat ini. Kesempatan melanjutkan pendidikan master pun datang.
 
Dia Ia memilih Amerika Selatan dan melakukan riset selama berbulan-bulan di Hutan Amazon. Sementara itu, untuk program doktornya, ia memilih melakukan riset di Sulawesi bersama mahasiswanya.
 
“Primatology saat itu adalah bidang yang masih jarang ditekuni, sehingga saya lebih banyak melakukan kajian ke luar negeri untuk memperoleh ilmu tentang primata," kenang Jatna.
 
Dia mengungkapkan wild life conservation atau konservasi hewan liar yang dipelajari meliputi orang utan, lutung, monyet, dan berbagai spesies lainnya. Saat ini, ilmu itu lebih dikenal dengan istilah biologi konservasi.
 
Dari pengalaman riset di berbagai negara, Jatna menyadari ilmu konservasi alam dapat dipelajari dan diterapkan secara global. Menurutnya, kondisi geografis negara yang berbeda-beda membuat ilmu seseorang terbatas.
 
Oleh karena itu, diperlukan konferensi internasional sebagai media untuk bertukar ilmu antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lain.
 
“Kita sebagai orang Indonesia tentu lebih memahami kondisi geografis negara tropis daripada orang-orang di negara empat musim, begitu juga sebaliknya. Jika kita menekuni kekhasan ini, tentu kita akan menjadi ahli di bidangnya,” tutur Jatna.
 
Dia mengatakan relasi dengan peneliti di universitas terbaik dunia perlu dijalin mengingat pentingnya riset bersama sebagai jalan untuk menemukan solusi atas permasalahan biodiversitas. Demi membangun relasi ini, Jatna bahkan telah mengunjungi 70 negara untuk mengkaji konservasi alam di dunia.
 
Jatna menjadikan kunjungan ke Taman Nasional sebagai salah satu syarat bila ia diundang untuk mengisi konferensi di sebuah negara.
 
“Saya pernah pergi ke Bogota di Kolombia. Saya diminta untuk memberi materi tentang biodiversitas Indonesia. Saya bilang boleh, tapi fasilitasi saya untuk datang ke taman-taman nasional di sana,” ujar Jatna sambil tertawa.
 
Jatna menyebut upaya konservasi ini bukan berarti tidak mendatangkan uang. Justru, banyak manfaat ekonomi yang dihasilkan dari konservasi alam.
 
Taman Nasional dapat dijadikan ecotourism yang dapat mendatangkan peluang ekonomi pariwisata masyarakat setempat. Selain itu, penyerapan karbon dunia juga sangat bergantung pada hutan Indonesia.
 
“Potensi Indonesia untuk karbon sekitar USD600 miliar. Bayangkan, kalau kita konservasi, yang kita jual bukan kayu dan sebagainya, tetapi daya serap hutan kita atas karbon," unkap dia.
 
Jatna memaparkan saat ini harga karbon sudah USD10–20 dollar/ton. Selain itu, semua makanan dan obat-obatan berasal dari alam.
 
"Kalau kita tidak menjaga alam kita, orang lain akan datang dan mengambil materi yang kita punya,” tegas dia.
 
Jatna juga menuangkan ide-ide terkait konservasi alam dalam 20 buku mengenai lingkungan dan konservasi, serta lebih dari 150 paper bereputasi internasional. Kontribusinya ini telah membawanya menerima berbagai penghargaan, yakni Habibie Award (2008), Terry MacManus Award (2010), Achmad Bakrie Awards (2011), Lifetime Achievement from Conservation International (2017), dan yang terbaru The Bosscha Medal 2023.
 
Nama Jatna juga telah dijadikan sebagai takson untuk beberapa spesies, seperti Tarsius supriatnai, Draco supriatnai, dan Cyrtodactylus jatnai.
 
Baca juga: Guru Besar UI Prof. Jatna Raih Penghargaan Internasional The Bosscha Medal 2023

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan