P2G menyoroti terkait tunjangan profesi guru (TPG) yang diubah menjadi tunjangan guru dengan skema berbeda dalam RUU Sisdiknas. P2G menilai argumentasi dan penjelasan yang disampaikan terkait dihilangkannya pasal TPG dalam RUU Sisdiknas tidak berdasar hukum yang jelas dan terkesan statement politis belaka ketimbang penjelasan secara hukum.
"Kami menemukan ketidaksinkronan konten siaran pers Kemdikbudristek dengan batang tubuh RUU Sisdiknas. Dikatakan guru akan mendapat 'penghasilan yang layak', tapi Kemendikbudristek tidak menunjukkan pasal dan ayat berapa yang membuktikan hal tersebut? Mana pasalnya? Di mana ada pernyataan dalam batang tubuh RUU Sisdiknas guru dijamin mendapat penghasilan layak? Di mana ada kata layak?", tegas Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, dalam keterangan tertulis, Selasa, 30 Agustus 2022
Iman menilai hal ini berbanding terbalik dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Aturan menyebut dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak "Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial".
Pasal 15 (1) menyebut "Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi".
Iman juga menyoroti klaim RUU Sisdiknas membawa berita baik bagi guru. Dia mempertanyakan bukti nyata berita baik itu padahal pasal tentang tunjangan profesi guru, tunjangan fungsional, dan maslahat lainnya tidak lagi dimuat eksplisit.
Dia menuturkan dalam UU Guru dan Dosen saat ini mengatur hak guru secara eksplisit dan rinci. Rinciannya, enam pasal mengatur hak guru, mulai dari Pasal 14 sampai Pasal 19, dengan rician pasal 14 (2 ayat); pasal 15 (3 ayat); pasal 16 (4 ayat); pasal 17 (3 ayat); pasal 18 (4 ayat); dan pasal 19 (3 ayat).
Iman menyebut hal itu berbanding terbalik dengan RUU Sisdiknas yang hanya mengatur ha guru dalam satu pasal, yakni Pasal 105. Iman menuturan ini sangat bertolak-belakang dengan UU Guru dan Dosen yang cukup lengkap dan detail mengatur hak guru.
"Dapat disimpulkan, RUU Sisdiknas sangat buruk dalam mengatur hak-hak guru, ini sebuah langkah mundur dalam tata kelola guru," tutur Iman.
P2G juga menemukan potensi devide et impera dalam konferensi pers yang disampaikan. Salah satunya, mengutip pernyataan kepala sekolah yang tidak mewakili sikap keputusan resmi organisasi profesi, yaitu PB PGRI yang justru menolak keras dihapuskannya pasal tentang TPG, bahkan meminta RUU Sisdiknas ditunda pembahasannya.
"Ini strategi keliru karena dunia pendidikan dan protes guru tentang TPG bukan medan politik praktis dan dihadapi dengan cara diadu semacam itu. Siaran pers harusnya memuat pernyataan dan klarifikasi dari pihak kementerian, bukan unjuk kuat-kuatan dukungan," tegas Iman.
Iman juga mengritisi pernyataan kementerian yang menyatakan masih terbuka peluang untuk masukan terhadap RUU Sisdiknas. Padahal, pemerintah telah resmi mengajukan RUU Sisdiknas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
"Lantas masukan RUU ini kepada siapa? Kemendikbudristek atau Baleg DPR RI? Lagipula masukan publik sejak Februari 2022 lalu belum ada tindaklanjutnya," kata Iman.
Pernyataan Kemendikbudristek terbuka untuk masukan, kritik, dan saran juga dinilai jauh panggang dari api. P2G menuturan proses uji publik hanya 5 menit, tidak ada dialog memadai, terburu-buru, tidak bermakna, dan terkesan formalitas saja.
P2G menyebut justru menjauhkan publik berpartisipasi terlibat merancang RUU Sisdiknas yang akan sangat berdampak terhadap kualitas manusia Indonesia ke depan.
"Kami pernah diundang uji publik, sekali Februari lalu, waktu diberikan hanya 5 menit. Apa yang bisa diulas mendalam dalam RUU Sisdiknas dengan waktu mepet begini. Padahal RUU ini tidak main-main, menyangkut kualitas puluhan juta anak Indonesia, hampir 4 juta guru, dosen, tenaga kependidikan, dan masa depan Indonesia," beber Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Guru P2G Agus Setiawan.
Agus memaparkan dalam draf RUU Sisdiknas pada Februari 2022, pasal 118 ayat 2 dan Mei 2022 pada pasal 102 ayat 3 masih jelas tercantum eksplisit pasal mengenai TPG. Namun, dalam draf RUU Sisdiknas yang diserahkan ke Baleg DPR RI pada Agustus 2022, pasal tentang TPG dihilangkan.
"Patut diduga Kemendikbudristek telah melakukan korupsi pasal TPG. Mengapa draf akhir RUU Sisdiknas menghilangkan TPG? Apa latar belakang dan alasan Kemendikbudristek menghapus pasal tersebut? Jangan salahkan guru curiga, patut diduga ada niatan tidak baik sengaja menghilangkan pasal TPG," tutur Agus.
Guru Pendidikan Agama Islam itu menyebut permintaan guru sederhana. Kemendikbudristek dan Baleg mesti mencantumkan kembali hak-hak dasar guru, seperti TPG dan tunjangan fungsional secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas sebagaimana sangat detail dimuat dalam UU Guru dan Dosen.
"Sepanjang Kemendikbudristek tidak menjawab pertanyaan pokok dan permintaan di atas, yang terjadi malah sebaliknya, guru makin bingung dan resah," kata Agus.
Dia menyebut pihaknya juga menemukan temuan aneh mengenai guru dalam RUU Sisdiknas, yakni tidak ada definisi guru Organisasi profesi guru juga tidak didefinisikan dalam ketentuan umum Pasal 1 RUU Sisdiknas.
"Berbanding terbalik dengan UU Guru dan Dosen yang mendefinisikan kedunya. Ini semua mengindikasikan RUU Sisdiknas dibuat secara serampangan dan terkesan grasa-grusu," tutur Agus.
Baa juga: Aturan Diubah dalam RUU Sisdiknas, Nilai Tunjangan Guru Berpotensi Tak Satu Kali Gaji |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News