Keikutsertaan Kukuh dalam ajang itu cukup unik. Awalnya, dia tidak ada niat mendaftar. Bahkan, draf cerpen yang ia ajukan sebenarnya untuk diterbitkan dalam koran cetak.
“Setelah draf cerpen itu jadi, ternyata panjangnya sekitar 2.500 kata, sementara koran hanya menerima kisaran 1.500 kata. Memangkasnya tidak mungkin, akan banyak bagian yang hilang. Lalu saya cari info di internet, media yang sesuai dengan panjang cerpen saya. UWRF muncul sebagai salah satu opsi, karena panjangnya bisa 3.500 kata,” ungkap Kukuh dikutip dari laman uniar.ac.id, Kamis, 17 April 2025.
Menyadari UWRF adalah ajang dengan prestise tinggi di kalangan penulis sastra, Kukuh lantas mengembangkan draf cerpen awal menjadi lebih kompleks dan menambahkan detil cerita.
Lahirnya karya itu berasal dari proses panjang, layaknya cerpen yang ditulis untuk perhelatan UWRF 2025. Cerpen tersebut berlatar Kota Surabaya, khususnya di Makam Eropa Peneleh.
Rencananya, cerpen ini akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit pada Oktober 2025. “Ada nuansa sejarah masa transisi kolonialisme Belanda ke era pendudukan Jepang di awal tahun 1942. Ada juga kehidupan para orang-orang Belanda di kamp-kamp interniran,” sebut dia.
Gagasan kisah dalam cerpen itu bermula dari andilnya dalam penyusunan naskah akademis guna ikut serta dalam program Memori Kolektif Bangsa. Dalam kesempatannya membaca ratusan lembar arsip catatan pemakaman Eropa Peneleh, ada beberapa arsip yang menyentuhnya. Terutama arsip yang ditulis oleh seorang dari Belanda.
Baca juga: Mengenal Cerpen: Pengertian, Ciri-Ciri, Unsur, dan Struktunya |
“Saya berpikir, makam bukan untuk mereka yang telah mati saja. Makam adalah juga untuk mereka yang hidup. Manusia hidup dalam dan dengan memori. Manusia menciptakan, mereproduksi, dan mengawetkan memori. Dan makam adalah bagian dari seluruh proses memori itu,” beber dia.
Sisi kemanusiaan yang ia tonjolkan bersifat universal karena relasi antara ayah dan anak laki-laki dialami oleh setiap orang. Hal itu membuat Kukuh tergerak untuk menuliskan hal ini.
“Saya menuliskan bukan dalam bentuk naskah akademik atau formulir. Melainkan dalam bentuk cerita agar saya punya banyak ruang untuk mengeksplorasi sisi kemanusiaan dalam arsip-arsip tentang makam Eropa ini,” ungkap dosen yang pernah meraih penghargaan Kritik Film Terbaik di ajang Festival Film Indonesia 2021 itu.
Proses kreatif dalam penulisan naskah cerpennya juga terbilang tak mudah. Ia menuturkan perlu melakukan penyesuaian, penggalian data data, dan arsip-arsip lain di luar Arsip Makam Eropa Peneleh.
“Saya lupa sudah berapa kali merevisinya, dan memastikan setiap detailnya. Saya beruntung memiliki sahabat dan kolega yang bersedia membaca draf awal cerpen ini dan memberikan koreksi-koreksi kritis untuk perbaikan,” kata dia.
Meski begitu, Kukuh menikmati proses kreatif penulisan cerpen ini. Ia meyakini setiap arsip punya kisah ajaibnya masing-masing.
“Hal yang bisa saya bagikan kepada teman-teman mahasiswa yang tertarik menekuni penulisan adalah, keterampilan menulis itu harus diimbangi dengan keberanian menjelajah banyak hal lain. Seperti sejarah, budaya lokal, teknologi, dan lain-lain sebagai sumber inspirasi,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id