Dalam penelitiannya, Edwin menyorot kejadian perang antara Rusia dan Ukraina hingga genosida yang terjadi di Palestina oleh Israel. Kepekaan mesti dibangun melalui bidang kehidupan terutama untuk mencegah efek destruktif yang ditimbulkan akibat konflik yang terjadi antarorganisasi atau negara tertentu.
"Dengan adanya sensitivitas konflik justru harus semakin memperkuat inklusi, partisipasi, dan rasa kepemilikan. Adapun respons atau intervensi yang dimaksudkan di sini dapat berupa inisiatif, kebijakan, program, proyek, atau tindakan,” jelas dia dalam orasi ilmiahnya, dikutip Jumat 24 Mei 2024.
Dalam perang, menurutnya, apabila kedua pihak mau melakukan kalkulasi dan memiliki sensitivitas konflik, maka kemungkinan besar tidak perlu terjadi perang besar yang menewaskan ribuan penduduk sipil. Dia menegaskan, sensitivitas konflik adalah sebuah pendekatan yang berkeadilan.
"Untuk itu, analisis yang dilakukan harus cermat mengungkap berbagai kesenjangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan pelanggaran yang tengah terjadi," lanjut Guru Besar UPH ke-34 itu.
Menurut Edwin, ada tiga cara penerapan sensitivitas konflik yang dapat dilakukan dalam suatu organisasi. Pertama, dengan membiasakan organisasi untuk melaksanakan analisis konflik dan memperbaruinya secara berkala.
Ke dua, dengan menghubungkan analisis konflik dan siklus pemrograman intervensi. Ketiga, dengan merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi intervensi merujuk pada hasil analisis konflik, termasuk mendesain ulang bila diperlukan.
"Di antara ketiganya itu, analisis konflik adalah komponen utama dalam pengembangan sensitivitas konflik. Kegiatan ini menjadi landasan untuk penyusunan program yang sensitif terhadap konflik, khususnya dalam hal pemahaman tentang interaksi antara intervensi dan konteksnya,” tutur dia.
Melalui penelitiannya, Edwin berharap manfaat dari sensitivitas konflik dapat diterapkan secara relevan dan penerapannya diperluas termasuk ke dalam ranah kebijakan publik dan dunia usaha. Ia menegaskan, penerapan secara cermat dan tepat dapat mencegah terjadinya risiko, meminimalkan risiko, dan mitigasi risiko terjadinya konflik atau kekerasan.
"Kepekaan itu juga akan membentuk persepsi positif atas kebijakan, program, proyek, atau inisiatif yang dilaksanakan, serta memperkuat citra dan reputasi positif dari organisasi maupun pejabatnya," pungkasnya.
Baca juga: Tak Melulu Menaikkan UKT, Kolaborasi Riset Bisa Hasilkan 'Cuan' untuk PTN Lho!
|
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News