Psikolog IPB University, Nur Islamiah. DOK IPB
Psikolog IPB University, Nur Islamiah. DOK IPB

Anak 'Nakal' Dikirim ke Barak Tak Selesaikan Masalah, Justru Bisa Tambah Luka Psikologis

Renatha Swasty • 30 Mei 2025 16:07
Jakarta: Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi membuat program pembinaan anak nakal masuk barak militer. Psikolog IPB University, Nur Islamiah, menyebut agar program ini memberikan dampak jangka panjang, perlu disandingkan dengan pemahaman lebih menyeluruh terhadap akar perilaku anak, khususnya dari perspektif psikologi dan lingkungan ekologis anak.
 
Mia menjelaskan dalam ilmu psikologi, perilaku menyimpang tidak semata-mata merupakan bentuk kenakalan. Melainkan 'sinyal' dari ketidakseimbangan dalam ekosistem kehidupan anak.
 
Ia menyebut teori ekologi dari Bronfenbrenner yang menekankan perkembangan anak dipengaruhi oleh sistem yang saling terkait. Mulai dari keluarga, sekolah, hingga lingkungan sosial yang lebih luas.

“Ketika seorang anak menunjukkan perilaku bermasalah, pertanyaan penting seharusnya diarahkan ke lingkungan terdekatnya, apakah anak merasa diperhatikan, diasuh secara konsisten, dan diliputi rasa aman?” ucap dosen Fakultas Ekologi Manusia itu, Jumat, 30 Mei 2025.
 
Mengutip teori kelekatan dari Bowlby, Mia mengatakan ketiadaan hubungan emosional yang aman dengan orang tua atau pengasuh utama dapat membuat anak kesulitan mengelola emosi.
 
Dalam banyak kasus, perilaku negatif menjadi cara anak 'berteriak', tanda untuk mengekspresikan kebutuhan yang tidak terpenuhi.
 
“Jika kondisi ini hanya direspons dengan pendekatan militeristik seperti push-up, baris-berbaris, atau kegiatan fisik lainnya, maka bukan hanya perubahan perilaku yang tidak tercapai secara berkelanjutan, tetapi juga muncul risiko menambah luka psikologis yang tersembunyi,” kata dia.
 

Mia juga menjelaskan mengenai teori pembelajaran sosial dari Bandura. Teori ini menggarisbawahi anak belajar melalui pengamatan dan peniruan terhadap figur di sekitarnya.
 
Apabila ia tumbuh di lingkungan yang sarat kekerasan atau ketegangan emosional, pola itulah yang cenderung direproduksi.
 
“Karena itu, anak tidak cukup diberi perintah, tetapi perlu disuguhkan contoh konkret tentang empati, komunikasi yang sehat, dan pengendalian emosi. Oleh karena itu, titik paling krusial yang tak boleh diabaikan dalam pembinaan anak adalah adalah peran dan tanggung jawab orang tua,” ujar dia.
 
Mia mengatakan ketika seorang anak dianggap ‘nakal’, sangat mungkin yang ia lakukan adalah cerminan dari pola asuh di rumah. Oleh karena itu, orang tua juga perlu dibina.
 
Dia menekankan tidak cukup hanya membina anak di luar rumah bila pola pengasuhan dalam keluarga tetap tidak berubah. “Program seperti ini akan jauh lebih kuat jika orang tua diberikan pelatihan paralel, yakni tentang pola asuh yang sehat, keterampilan komunikasi, dan cara mengelola emosi dalam menghadapi dinamika anak dan remaja,” ucap dia.
 
Mia menyarankan perlunya asesmen psikologis menyeluruh sebelum dan sesudah program agar perubahan benar-benar menyentuh dan berkelanjutan. Selain itu, diperlukan pendampingan psikososial selama pelaksanaan, serta evaluasi berkala yang menilai tidak hanya perilaku, tetapi juga kondisi emosional anak.
 
“Semoga kebijakan yang telah dijalankan dapat terus dikembangkan menjadi ruang pembinaan yang tidak hanya membentuk kedisiplinan, tetapi juga menyuburkan kembali nilai-nilai luhur dalam diri anak,” ucap dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan