Peringatan dan respons cepat sangat dibutuhkan menyikapi perubahan cuaca ektsrem, bencana geologi dan ekologi yang semakin kompleks. Mengingat musim hujan baru memasuki fase awal dan potensi kejadian serupa masih terbuka berpotensi melanda daerah daerah lain di Indoensia.
Untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, menuntut langkah respons yang lebih terukur dari pemangku kepentingan.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk “Menelisik Penyebab dan Dampak Banjir Bandang Sumatra” di selasar Tengah Gedung Pusat UGM, Kamis, 4 Desember 2025.
Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D menyampaikan bahwa Indonesia telah memiliki sistem peringatan dini yang bekerja sejak jauh hari sebelum bencana terjadi. BMKG mengeluarkan peringatan sejak September, lalu memperbaruinya pada 21 November dengan menyebutkan wilayah yang berpotensi terdampak.
Menurutnya, tantangan muncul ketika kapasitas respons pemerintah daerah tidak berkembang secepat informasi yang diberikan. “Early warning, early response. Peringatan dini harus selalu diikuti dengan respons dini,” ujar Guru Besar Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM ini dikutip dari laman UGM, Jumat, 5 Desember 2025.
Dalam forum tersebut, Dwikorita menegaskan, efektivitas mitigasi tidak berhenti pada kemampuan mendeteksi ancaman, tetapi pada kesiapan bertindak ketika peringatan telah disampaikan. Ia menjelaskan, sistem informasi yang kuat perlu diimbangi dengan respons operasional yang bergerak cepat di tingkat daerah. Kesiapsiagaan harus berjalan seirama dengan dinamika cuaca ekstrem yang dapat berubah dari jam ke jam.
Ia melanjutkan, kesiapan teknis di lapangan menjadi bagian yang sangat menentukan dalam mereduksi dampak bencana. Pemeriksaan tanggul, pengerukan sungai, pembersihan drainase, dan kesiapan alat berat merupakan langkah dasar yang perlu segera dilakukan.
Pengalaman sebelumnya menunjukkan, komunikasi kebencanaan di tingkat masyarakat masih belum optimal. “Istilah siaga sering tidak dipahami masyarakat sehingga responsnya tidak muncul pada waktu yang dibutuhkan,” kata Dwikorita.
Dari sisi lingkungan, Hatma Suryatmojo menekankan bahwa pemulihan kawasan hulu merupakan komponen kunci dalam pengurangan risiko jangka panjang. Kerusakan ekosistem di daerah tangkapan air telah menurunkan kapasitas DAS dalam mengendalikan debit saat hujan ekstrem. Upaya rehabilitasi, peningkatan tutupan vegetasi, dan pengendalian perubahan penggunaan lahan harus menjadi prioritas bersama.
“Tanpa pemulihan ekosistem di kawasan hulu, risiko bencana akan tetap berada pada tingkat yang tinggi,” ujarnya.
Hatma menambahkan, pemetaan ulang kerentanan bencana diperlukan agar pemerintah memiliki dasar kuat untuk penataan ulang ruang dan pemukiman. Satgas penanganan bencana akan mengidentifikasi titik-titik yang aman dan tidak aman berdasarkan kondisi aktual di lapangan. Informasi ini semestinya menjadi rujukan utama dalam memutuskan relokasi warga dari lokasi dengan potensi bahaya tinggi.
“Jika kerawanannya tinggi, langkah yang paling logis adalah mengurangi eksposurnya melalui relokasi,” tuturnya.
Dari perspektif kesehatan, Bayu Satria Wiratama, M.P.H., Ph.D., mengingatkan bahwa 24–72 jam pascabencana merupakan fase yang sangat menentukan. Ketersediaan air bersih, sanitasi, dan pengaturan ruang pada shelter menjadi penentu untuk mengurangi risiko penyakit menular. Leptospirosis, diare, dan infeksi lain mudah berkembang pada kondisi lingkungan yang tidak terjaga.
“Shelter harus memastikan kebersihan, pasokan air, dan pengaturan ruang agar risiko penularan dapat ditekan,” ujarnya.
Bayu juga menyoroti pentingnya penanganan kesehatan mental sejak tahap awal tanggap darurat. Banyak penyintas mengalami kecemasan dan stres berat akibat kehilangan dan tekanan situasional.
Identifikasi cepat terhadap individu dengan gejala berat menjadi langkah penting untuk mencegah kondisi yang memburuk. “Penanganan psikologis awal penting dilakukan agar gejala tidak berkembang menjadi kondisi yang lebih serius,” katanya.
Direktur Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat, Dr. dr. Rustamaji, M.Kes., memaparkan langkah-langkah yang sedang dijalankan oleh Unit Tanggap Bencana UGM (DERU) untuk membantu penanganan di wilayah terdampak. Tim melakukan pendataan mahasiswa dan keluarga berisiko, mengirim tenaga medis, dan menyiapkan dukungan logistik serta infrastruktur air bersih.
Koordinasi dilakukan bersama universitas setempat dan pemerintah daerah untuk memastikan bantuan tersalurkan dengan aman dan efektif. “Tim yang berangkat harus dipastikan aman agar mereka tidak menambah beban risiko di lokasi bencana,” ucapnya.
Rustamadji menekankan, koordinasi lintas unit di UGM menjadi elemen penting agar bantuan yang dikirim tetap relevan dengan kebutuhan lapangan. Ia menjelaskan bahwa tim kajian dari berbagai fakultas telah bergerak menyusun rekomendasi berbasis bukti mengenai pemulihan infrastruktur, layanan kesehatan, hingga kebutuhan dasar masyarakat terdampak.
UGM juga menyiapkan skema dukungan jangka menengah, termasuk pemulihan ekonomi dan pendampingan psikososial bagi komunitas di wilayah bencana. “Kami memastikan setiap langkah yang diambil selaras dengan kebutuhan riil masyarakat dan mampu memperkuat daya tahan mereka setelah fase darurat,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News