ICGI 2025. Foto: Unas
ICGI 2025. Foto: Unas

UNAS Gelar ICGI 2025, Dorong Kolaborasi Global untuk Perdamaian Dunia

Citra Larasati • 12 November 2025 20:37
Jakarta: Universitas Nasional (UNAS) menyelenggarakan International Conference on Global Issues (ICGI) 2025, Rabu 12 November 2025 di Gedung Auditorium UNAS. Konferensi internasional ini menjadi ajang penting bagi akademisi, diplomat, pembuat kebijakan, dan mahasiswa dari berbagai negara untuk membahas dinamika geopolitik global serta mencari solusi kolaboratif dalam menciptakan perdamaian dunia.
 
Mengusung tema “Future of World: Making Peace Against All Odds” ICGI 2025 menghadirkan diskusi lintas bidang mengenai tantangan keamanan internasional, peran diplomasi global, hingga inovasi dalam pembangunan perdamaian.
 
Ketua Pelaksana ICGI 2025 Robi Nurhadi dalam laporannya menyampaikan, konferensi ini merupakan wadah penting untuk memperkuat kontribusi akademisi dan generasi muda dalam menjaga stabilitas dunia.

“Saat ini banyak tantangan dan ketegangan politik yang muncul dan dikhawatirkan bahkan akan berpotensi konflik besar di masa depan. Melalui forum ini, kita berupaya membangun kembali semangat perdamaian dengan melibatkan para pemimpin, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat global,” ujar Robi dalam siaran persnya, dikutip Rabu, 12 November 2025.
 
Lebih lanjut, ia menegaskan, perdamaian bukan hanya tanggung jawab para pemimpin politik, melainkan juga tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat. “Perdamaian dunia bukan hanya tugas para pemimpin negara, tetapi juga tanggung jawab kita semua baik akademisi, pelajar, media, dan masyarakat sipil. Melalui ICGI, UNAS berkomitmen menjadi jembatan bagi dialog lintas negara dan budaya untuk menciptakan dunia yang lebih damai,” tambahnya.
 
Melalui ICGI 2025, Robi menegaskan, UNAS sebagai institusi pendidikan yang berorientasi global dan berkomitmen untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya perdamaian dunia. Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan konkret serta memperkuat kolaborasi internasional dalam upaya pencegahan dan penyelesaian konflik global.
 
“Kami berharap ICGI menjadi kontribusi nyata dari Universitas Nasional untuk dunia bahwa perdamaian bukan sekadar harapan, melainkan tanggung jawab bersama yang harus diwujudkan melalui dialog dan kerja sama lintas batas,” tutup Robi.
 
Dalam paparannya, Duta Besar Indonesia untuk Ukraina periode 2017–2021 sekaligus Guru Besar Universitas Nasional (UNAS), Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, S.H., S.E., M.E., menegaskan pentingnya kolaborasi global yang berlandaskan etika dan realisme politik dalam membangun perdamaian dunia.
 
Dalam pidatonya yang bertajuk “How Can The World Move Beyond Cycles Of Conflict And Build A Sustainable Future Where Peace Prevails”, Yuddy mengulas dinamika konflik internasional yang masih terus terjadi di berbagai belahan dunia, seperti di Ukraina, Sudan, Suriah, dan Myanmar. Ia menyebut bahwa tantangan utama hubungan internasional saat ini terletak pada dilema antara idealisme global dan kepentingan nasional.
 
“Dunia modern membutuhkan kolaborasi politik yang etis tanpa kehilangan identitas dan kedaulatan nasional,” ujar Yuddy.
 
Ia juga menyoroti lemahnya peran lembaga-lembaga internasional seperti PBB, OECD, G20, dan IMF, yang menurutnya kini menghadapi ujian eksistensi dan relevansi di tengah meningkatnya ketegangan global, terutama rivalitas antara dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok.
 
Lebih lanjut, Yuddy menilai konflik dan perang yang berkepanjangan disebabkan oleh lemahnya kendali negara terhadap wilayahnya, erosi legitimasi pemerintahan, serta ketidakmampuan menyediakan layanan publik. Ia mencatat setidaknya terdapat lebih dari 15 negara yang masih dilanda konflik aktif, termasuk Ukraina, Israel–Palestina, dan Myanmar.
 
Sebagai solusi, Yuddy mengusulkan beberapa langkah strategis untuk mendorong perdamaian dunia, di antaranya, Reformasi keanggotaan Dewan Keamanan PBB, agar lebih mencerminkan realitas global saat ini dan tidak didominasi oleh lima negara tetap, Perlucutan senjata nuklir dan pembentukan komite pemantau independen yang melibatkan negara-negara netral seperti Indonesia dan Australia, (3) Peningkatan kerja sama global dalam restorasi ekologi serta percepatan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs), Penguatan diplomasi dan peran negara-negara netral dalam menjembatani pihak-pihak yang berkonflik dan Upaya menyatukan dua kekuatan besar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, dalam fondasi kerja sama ekonomi dan keamanan global.
 
Yuddy juga menegaskan, Indonesia telah berperan aktif dalam berbagai misi perdamaian dunia, antara lain melalui diplomasi untuk penyelesaian konflik Ukraina–Rusia, Palestina–Israel, serta Myanmar. Ia menilai bahwa diplomasi Indonesia yang netral dan konstruktif dapat menjadi model dalam upaya penyelesaian konflik global.
 
Menutup sesinya, Yuddy mengajak para akademisi, mahasiswa, dan masyarakat global untuk terus menyuarakan pentingnya perdamaian dan kerja sama internasional demi masa depan umat manusia yang berkelanjutan. “Konferensi ini menjadi bukti bahwa Universitas Nasional tidak hanya berperan dalam pendidikan, tetapi juga aktif menyumbangkan gagasan bagi perdamaian dunia,” ujarnya.
 
Sementara itu, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Dato’ Syed Mohamad Hasrin Tengku Hussin, menegaskan bahwa perdamaian sejati tidak mungkin terwujud tanpa keadilan dan kemanusiaan. “Dunia menghadapi ancaman eksistensial mulai dari perubahan iklim hingga potensi penggunaan senjata pemusnah massal. Namun, di tengah tantangan ini, kita harus tetap percaya bahwa perdamaian masih mungkin dicapai, jika kita berani memperjuangkannya,” ujar Dato’ Syed Hasrin.
 
Ia menekankan, bagi Malaysia, perdamaian bukanlah impian jauh, melainkan fondasi identitas nasional dan diplomasi luar negeri yang berlandaskan penghormatan, pemahaman, dan penyelesaian damai atas setiap perselisihan.
 
Melalui prinsip prosper thy neighbour, Malaysia meyakini bahwa stabilitas regional merupakan bagian tak terpisahkan dari perdamaian global. Dalam paparannya, Dato’ Syed Hasrin juga menyoroti kontribusi aktif Malaysia dalam misi perdamaian dunia dari operasi peacekeeping di Afrika dan Timur Tengah hingga fasilitasi dialog damai di Thailand Selatan, Filipina, dan Myanmar.
 
Ia menegaskan kembali sikap tegas Malaysia terhadap isu Palestina. “Selama delapan dekade, Palestina menjadi pengingat bahwa perdamaian tidak akan pernah lahir tanpa keadilan. Dunia tidak dapat mengaku damai selama jutaan orang masih hidup dalam pendudukan dan penderitaan," ujarnya.
 
Dato’ Syed juga mengajak dunia untuk kembali pada semangat Piagam PBB, menolak nasionalisme sempit, dan memperkuat multilateralisme sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis global. Ia menyoroti pentingnya inovasi teknologi, diplomasi budaya, dan pendidikan lintas agama sebagai instrumen baru dalam membangun kepercayaan dan mencegah konflik.
 
“Perdamaian bukanlah keadaan pasif, tetapi tindakan moral yang aktif untuk menegakkan keadilan, empati, dan tanggung jawab bagi semua umat manusia,” tutupnya.
 
Duta Besar Turki untuk Indonesia, Prof. Dr. Talip Küçükçan mengungkapkan keprihatinan atas meningkatnya konflik global. Ia mencatat bahwa saat ini terdapat lebih dari 110 titik konflik di dunia. Prof. Küçükçan menilai bahwa ketidakadilan, ketimpangan, kemiskinan, dan hilangnya harapan menjadi akar dari berbagai konflik global. Karena itu, menurutnya, dunia membutuhkan pendekatan baru yang lebih manusiawi dan kolaboratif.
 
Ia menjelaskan peran aktif Turki dalam berbagai misi perdamaian, termasuk mediasi antara Rusia dan Ukraina, serta dukungan kemanusiaan di Gaza dan Suriah. Turki, katanya, berkomitmen menjadi jembatan diplomasi antarnegara melalui Istanbul Mediation Conference dan prakarsa United Nations Alliance of Civilizations, kolaborasi Turki dan Spanyol untuk mendorong dialog lintas budaya di tengah narasi “benturan peradaban”.
 
“Kami percaya kemanusiaan memiliki nasib yang sama. Perdamaian tidak akan terwujud melalui perpecahan, tetapi melalui kerja sama antarperadaban,” ujar Talip Küçükçan.
 
Ia juga menyoroti pentingnya reformasi sistem internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, yang dianggap tidak lagi mewakili realitas dunia modern. Saat ini Turki menduduki posisi ketiga dunia dalam jumlah perwakilan diplomatik setelah Tiongkok dan Amerika Serikat sebagai bentuk komitmen untuk memperluas jangkauan perdamaian global. Negara tersebut juga tercatat sebagai penyumbang bantuan kemanusiaan terbesar kedua di dunia, dengan anggaran lebih dari USD 7 miliar per tahun.
 
Küçükçan menutup paparannya dengan ajakan reflektif kepada generasi muda Indonesia. “Mahasiswa memiliki tanggung jawab membentuk masa depan yang damai. Kita semua baik akademisi, diplomat, jurnalis, dan mahasiswa memiliki peran untuk bekerja lebih keras demi masa depan yang penuh harapan.”

Dari Pertahanan Menuju Diplomasi

Dalam paparannya berjudul “From Defense to Diplomacy: The Role of Military Leadership in Fostering Peace”, Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, Kepala Staf TNI Angkatan Udara periode 2002–2005 sekaligus pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia, menekankan pentingnya transformasi peran militer dari sekadar alat pertahanan menjadi instrumen diplomasi dan perdamaian global.
 
Ia menyoroti bagaimana kekuatan udara (air power) kini menjadi elemen paling strategis dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional. “Kemenangan tertinggi bukanlah mengalahkan musuh, melainkan mencegah konflik itu sendiri,” ujar Chappy.
 
Chappy menegaskan bahwa kepemimpinan militer modern harus memiliki dimensi moral yang kuat. Yaitu mengutamakan kebijaksanaan, tanggung jawab, dan empati dalam setiap keputusan strategis. Menurutnya, pergeseran paradigma dari defense ke diplomacy bukanlah tanda kelemahan, tetapi ekspresi tertinggi dari kekuatan dan kematangan bangsa.
 
Chappy juga menyerukan perlunya pendidikan militer yang lebih holistik, yang tidak hanya mengajarkan taktik dan strategi, tetapi juga etika, sejarah, dan psikologi agar perwira masa depan mampu menjadi “arsitek perdamaian,” bukan sekadar prajurit. Akademisi asal Turki, Dr. Tufan Kutay Boran, memaparkan topik bertajuk “Smart Balancing Without Occupation: Indonesia as a Middle Power in the Global South”. Dalam paparannya, Dr. Kutay membahas posisi strategis Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) di kawasan Global South yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan global di tengah rivalitas kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
 
Ia memperkenalkan konsep smart balancing, yakni strategi kombinasi antara hard balancing (penguatan pertahanan dan modernisasi militer) serta soft balancing (diplomasi, institusi multilateral, dan kerja sama ekonomi).
 
“Indonesia menunjukkan contoh bagaimana sebuah negara dapat memperkuat otonomi strategis tanpa harus berpihak pada kekuatan besar manapun,” jelas Dr. Boran.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan