Demikian salah satu poin yang bisa dipetik dalam Workshop Tata Kelola Karbon dan Kedaulatan Indonesia yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Universitas Diponegoro (Undip), Jumat, 28 Juni 2024.
Rektor Undip, Prof Suharnomo berharap workshop ini memberikan platform bagi generasi muda untuk memperluas jaringan dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Mereka juga bisa menjadi motor dalam mempromosikan prinsip Meaningful Youth Participation dalam semua tingkatan.
Suharnomo berharap muncul cognitive dissonance terhadap perilaku peduli lingkungan dari generasi muda, sehingga mempengaruhi tindakan yang dilakukan. Suharmono menekankan tentang pentingnya memilih berkembang secara ekonomi namun juga mendukung keberlanjutan lingkungan.
Cognitive dissonance merupakan istilah dalam psikologi sosial yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang. Perasaan ini muncul akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.
"Kita butuh banyak endorsement, lebih banyak kampus lagi untuk punya suara lebih kencang guna menyuarakan hal-hal seperti ini. Mudah-mudahan, dengan semakin banyak yang speak up, maka akan makin banyak gaungnya," kata Suharmono melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu, 30 Juni 2024.
Baca: Edu-games Inklusif Bantu Anak Pahami Perubahan Iklim |
Acara diskusi dengan generasi muda, khususnya kalangan para mahasiswa ini, menyoroti pentingnya pengelolaan emisi karbon yang efektif. Diskusi juga ingin memastikan kedaulatan Indonesia dalam pelaksanaan perdagangan karbon.
Diskusi melibatkan 357 peserta dari kalangan generasi muda, pemerintah, akademisi, dan industri. Para peserta berupaya mencari solusi dan inovasi dalam pengelolaan emisi karbon.
Apa yang bisa dilakukan?
KLHK mendorong partisipasi generasi muda dalam pengendalian perubahan iklim. Caranya, yakni dengan memperkuat tata kelola karbon dan kedaulatan Indonesia serta memberikan solusi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, menegaskan perlunya pemikiran dan konsep environmental citizenship dalam penyelesaian masalah triple planetary crises.
"Environmental citizenship menekankan peran tanggung jawab individu, komunitas, dan organisasi terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang muncul pada awal 2000-an," kata Sigit.
Menurut dia, generasi muda dan masyarakat berperan sebagai agen perubahan yang bertanggung jawab menjaga keberlanjutan lingkungan. Mengurangi dampak negatif yang melampaui batas kedaulatan Indonesia dan menekankan hak dan kewajiban lingkungan hidup di tingkat lokal, nasional, maupun global dengan fokus pada solusi dan mencegah masalah baru.
Latar belakang
Laporan IPCC (2022) mengungkapkan pemanasan global akibat aktivitas manusia telah mencapai 1 derajat Celcius sejak masa pra-industri. Dan terus meningkat sekitar 0,2 derajat Celcius setiap dekade.Kenaikan suhu ini membawa ancaman besar bagi dunia, termasuk Indonesia, yang menghadapi risiko kenaikan muka air laut, kebakaran hutan, dan kepunahan spesies. Selain itu, perubahan iklim juga berdampak pada sektor ekonomi, hukum, politik, keamanan, demografi, dan kesehatan.
Sebagai respons terhadap ancaman tersebut, Perjanjian Paris 2015 yang ditandatangani oleh hampir 200 negara, termasuk Indonesia, menetapkan komitmen bersama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan membatasi kenaikan suhu global.
Indonesia telah mengadopsi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.
Tantangan baru muncul dengan adanya mekanisme perdagangan karbon. Pelaksanaan perdagangan karbon yang tidak terkendali dapat mengancam kedaulatan Indonesia. Tantangan lainnya termasuk over supply kredit karbon, risiko penghitungan ganda, kredit karbon fiktif, manipulasi pengukuran, dan penipuan pajak.
Literasi karbon
Penasehat Senior Menteri LHK, Makarim Wibisono, mengatakan tata kelola karbon memerlukan otoritas pemerintah dalam menjaga kedaulatan Indonesia. Dalam dinamika perdagangan bebas, pemerintah Indonesia mengantisipasi munculnya para makelar kelas dunia dalam melakukan perdagangan karbon tanpa otoritas dan laporan.Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menuturkan perlu ada peningkatan literasi karbon. Perlu juga ada kolaborasi yang kuat antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat untuk membangun kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman yang mendalam tentang karbon.
"Pemerintah sebagai legulator harus rajin memonitor, mengevaluasi keberadaan peraturan perundangan terkait tata kelola karbon, lalu merevisinya jika diperlukan," kata Agus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News