Demikian disampaikan dosen Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dr. Isa Multazam Noor M.Sc SpKJ (K), dalam webinar kesehatan untuk awam bertajuk Kekerasan Seksual: Bagaimana Cara Menghadapi dan Mencegahnya? Webinar digelar Fakultas Kedokteran UIN Jakarta, Minggu, 29 Oktober 2023.
“Yang menarik di zaman sekarang, globalisasi dan digital 4.0, ternyata ada perilaku yang menjurus pada terjadinya kekerasan seksual lewat online, sexting namanya,” ujar pengajar yang juga bekerja di Instalasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja, RSJ Dr. Soeharto Heerdjann Grogol, Jakarta Barat ini.
Perilaku sexting, tuturnya, bisa berupa pernyataan seksual yang tidak diinginkan. Ini misalnya lelucon seksual atau pembicaraan kotor, komentar atas atribut fisik, menyebarkan rumor atau penilaian tentang aktifitas atau penampikan seksual, membicarakan aktifitas seksual di depan orang lain, atau mendistribusikan gambar yang eksplisit secara seksual.
Rupa lain perilaku demikian, sebutnya, bisa berupa pengiriman pesan teks yang tidak pantas atau menulis grafiti seksual di kamar mandi. Begitu juga pernyataan seksual yang tidak diharapkan dengan disampaikan secara langsung, tertulis, atau secara elektronik.
Selanjutnya, sexting bisa berupa perhatian pribadi yang tidak diinginkan seperti surat, panggilan telepon, kunjungan berorientasi pelanggaran seksual. Lainnya, berupa rayuan fisik atau seksual yang tidak diinginkan.
“Seperti menyentuh, memeluk, mencium, membelai, menyentuh diri sendiri secara seksual agar orang lain dapat melihatnya, penyerangan seksual, hubungan intim atau aktivitas seksual lain,” paparnya.
Perilaku sexting sendiri, sebut Isa, berkembang di tengah masifnya perkembangan teknologi informasi dan digital seperti massifnya penggunaan smartphone oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Melalui perangkat ini, pelaku melakukan pelanggaran dengan mengirimkan pesan atau gambar yang mencerminkan perilaku pelecehan seksual.
Mahasiswi Lebih Rentan
Di sisi lain, Isa mengungkapkan, kekerasan seksual tidak hanya berupa kekerasan fisik, melainkan juga verbal, dengan mahasiswi sebagai bagian penting populasi rentan kekerasan seksual di wilayah kampus. Merujuk riset kekerasan seksual di Asia, tak kurang dari 20-25 persen mahasiswi dan 4 persen mahasiswa mengaku pernah mengalami pelecehan seksual semasa kuliah.Prosentase ini, sebutnya, menandakan mahasiswi memiliki empat kali lebih besar resiko mengalami pelecehan seksual dibandingkan perempuan dalam kelompok usia lainnya. “Perempuan yang mengikuti kuliah memiliki risiko lebih besar dibandingkan perempuan yang tidak mengikuti kuliah,” sebutnya.
Kekerasan seksual dinilai sangat berpengaruh terhadap prestasi akademik dan kapasitas mental mahasiswa dalam komunitas kampus. Survivor kekerasan seksual biasanya jarang beprestasi pada tingkat akademis sebelumnya, tidak mampu menjalankan beban mata kuliah secara normal, dan sering bolos kelas.
“Mahasiswa korban penyerangan seksual seringkali membatalkan kursus, berhenti kuliah, atau pindah kampus,” tuturnya.
Lebih jauh, Isa menuturkan, korban kekerasan seksual perempuan biasanya tidak melaporkan kekerasan seksual yang menimpa dirinya karena sistem pendukung yang tidak memadai. Selain rasa malu, perempuan juga alami ketakutan jika harus melapor
“Ketakutannya bisa karena resiko pembalasan, disalahkan, tidak dipercaya, dianiaya atau dikucilkan secara sosial,” katanya.
Mengutip Badan Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan seksual sendiri didefinisikan sebagai tindakan, komentar, atau rayuan seksual yang tidak diinginkan dan ditujukan kepada seksualitas seseorang secara paksa dan tidak terbatas di rumah dan tempat kerja. Kekerasan seksual biasanya memuat unsur pemaksaan, mulai dari kekuatan individu, intimidasi psikologis, pemerasan, dan ancaman.
Guna menghindari tindak kekerasan seksual, lanjutnya, dibutuhkan peran bersama baik dari lembaga keluarga, kampus, tempat kerja, aparat keamanan, komunitas sendiri. Ini misalnya dengan membentuk layanan konseling bagi korban, edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, pendampingan pelaporan, dan dukungan berbasis komunitas.
Di lingkungan keluarga, sambung dr. Isa, bisa dilakukan dengan menerapkan program Underwear Rules. Pada program ini, orang tua mengajari anak secara akurat tentang nama bagian tubuh pribadi, memastikan anak bisa menyampaikan langsung kesulitan dirinya kepada orang tua, memantau penggunaan teknologi dari anak seperti telepon seluler, jejaring sosial, dan pesan.
“Mendorong anak untuk mengatakan “tidak” ketika mereka tidak ingin disentuh orang lain atau bahkan dengan cara non-seksual,” imbuhnya.
Kuliah di kampus favorit dengan beasiswa full kini bukan lagi mimpi, karena ada 426 Beasiswa Full dari 21 Kampus yang tersebar di berbagai kota Indonesia. Info lebih lanjut klik, osc.medcom.id.
Baca juga: Selamat! 2.123 Sanggahan CASN Kemenag Diterima dan Lulus Seleksi Administrasi |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News