"Dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja membuktikan pemerintah, terutama Presiden tidak memiliki itikad baik untuk mematuhi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020," kata Allan dikutip dari laman uii.ac.id, Rabu, 11 Januari 2022.
Dalam putusan MK, salah satu amar berbunyi Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Allan menuturkan pemerintah wajib mempelajari pertimbangan putusan MK. Baik dari segi perbaikan proses legislasi maupun terkait UU Cipta Kerja yang telah diperintahkan MK.
“Pemerintah juga melecehkan lembaga DPR selaku lembaga pembentuk undang-undang karena dengan dikeluarkannya Perppu ini, pemerintah meminggirkan peran DPR,” kata Allan yang juga menjabat sebagai Dewan Pakar Pusat Studi Hukum Konstitusional (PSHK) UII ini.
Allan juga menilai pemerintah meminggirkan partisipasi publik dalam proses pembentukan regulasi. Dia menyebut pemerintah mengambil jalan pintas sesat yaitu dengan menggunakan dalih adanya kegentingan memaksa untuk menghanyutkan partisipasi publik.
Prosedur dikeluarkannya Perppu berlandaskan Pasal 22 UUD NKRI 1945 yaitu dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Kemudian, peraturan pemerintah harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan. Apabila tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabut.
“Artinya, Perppu hanya dapat dikeluarkan jika negara dalam keadaan genting memaksa,” tegas dia.
Allan menjelaskan meskipun kegentingan memaksa merupakan hak subjektif presiden, namun terdapat tiga kriteria kegentingan memaksa yang dapat merujuk pada Putusan MK 138/PUU-VII/2009, yaitu:
- Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat
- UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya UU yang saat ini ada
- Terjadinya kondisi kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu cukup lama, sedangkan keadaan/kebutuhan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
“Artinya, Perppu Cipta Kerja masih berlaku sampai dilakukan perbaikan hingga November 2023. Waktu 10 bulan sangat cukup untuk melakukan revisian, bukan malah mengeluarkan Perppu UU Cipta Kerja,” tegas dia.
Allan mengatakan dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja bakal berdampak buruk bagi hubungan antar lembaga negara, yaitu Presiden, DPR, dan MK. "Presiden tidak menghormati putusan MK sekaligus tidak menghormati DPR selaku lembaga pembentuk Undang-Undang,” ucap dia.
Dia menilai pengesahan Perppu Cipta kerja juga akan merusak sistem legislasi sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2022. “Padahal, kalau kita lihat dalam UU Nomor 13 Tahun 2022, tidak ada ketentuan yang membolehkan Perppu dibuat dengan metode omnibus,” tutur dia.
Allan menyebut penggunaan metode omnibus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 secara khusus hanya boleh dilakukan bila tahapannya dimulai dengan mencantumkan di dalam dokumen perencanaan peraturan, seperti prolegnas.
“Apabila DPR memiliki akal sehat, Perppu ini harus ditolak karena telah meminggirkan peran DPR untuk ikut memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK,” tutur dia.
Di sisi lain, sudah terdapat gugatan pengujian Perppu ke MK. Dia meminta MK mesti berhati-hati dalam menguji Perppu tersebut.
"Kritik publik harus didengarkan, mampu memainkan peran sebagai the guardians of constitution serta apabila pemerintah membangkang konstitusi, sudah menjadi tugas MK untuk menegakkan dan menertibkannya,” tegas dia.
Baca juga: Ini Isi Perppu Cipta Kerja yang Ditolak Buruh |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News