Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Sonny Dewi Judiasih menuturkan berdasarkan data UNICEF, Indonesia menduduki peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN dengan jumlah pernikahan dini terbanyak. UNICEF mencatat angka absolut pengantin anak di Indonesia mencapai 1.459.000 kasus.
“Secara nasional, terdapat 11,2 persen anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun dan 0,5 persen dari anak perempuan tersebut menikah pada saat mereka berusia 15 tahun,” kata Sonny dalam orasi ilmiahnya berjudul Kontroversi Perkawinan Bawah Umur: Realita dan Tantangan bagi Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia dikutip dari laman unpad.ac.id, Rabu, 8 Maret 2023.
Dia menyebut praktik perkawinan di bawah umur di Indonesia disebabkan berbagai hal. Mulai dari pengaruh adat, kebiasaan masyarakat, agama, faktor ekonomi, pendidikan rendah, hingga pergaulan remaja yang menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan.
Sonny mengungkapkan realita di masyarakat perkawinan bawah umur di Indonesia banyak dilakukan anak perempuan. Perbandingannya, 1:9 anak perempuan menikah di bawah umur, sedangkan untuk anak laki-laki perbandingannya 1:100.
Dia menyebut pernikahan dini menimbulkan dampak terhadap pendidikan, psikologis, kesehatan, dan sosial. Sonny menjelaskan pada dampak pendidikan, perempuan yang menikah di bawah umur akan kehilangan kesempatan untuk menempuh pendidikan selanjutnya.
Hal tersebut disebabkan anak yang sudah melangsungkan perkawinan kerap tidak ternotivasi menempuh jenjang pendidikan lebih tinggi. “Hal lain disebabkan anak tersebut terlalu sibuk mengurus rumah tangga sehingga mengesampingkan pendidikannya,” ujar dia.
Sementara itu, dampak psikologis, anak di bawah umur dianggap belum memiliki emosi dan kematangan berpikir yang stabil. Hal ini akan memicu lahirnya masalah yang akan mengganggu keharmonisan rumah tangga dan memicu stres pada anak perempuan.
Di sisi kesehatan, kata Sonny, kehamilan di usia muda akan menyebabkan dampak buruk berupa infeksi pada kandungan. Risiko kematian ibu dan bayi mengintai anak-anak ketika ia harus hamil atau melahirkan di bawah usia 19 tahun.
Selain itu, pernikahan di bawah umur berpotensi pada tingginya tingkat perceraian di kemudian hari. Emosi anak yang belum stabil akan memicu pertengkaran di rumah tangga.
“Pertengkaran yang terus menerus dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, terutama pada istri. Keadaan seperti itu menyebabkan pasangan suami istri lebih memilih bercerai dibandingkan dengan melanjutkan perkawinan,” tutur dia.
Sonny mengatakan Indonesia sebenarnya telah menetapkan batas usia pernikahan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan batas usia melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun. Syarat usia perkawinan tersebut kemudian direvisi menjadi 19 tahun bagi lak-laki dan perempuan.
Dasar perubahan tersebut adalah adanya kondisi perbedaan usia perkawinan menimbulkan ketidaksetaraan gender dan diskriminasi gender. Sonny memaparkan pemerintah memberikan dispensasi bagi yang akan menikah di bawah usia 19 tahun.
Permohonan dispensasi harus diajukan ke pengadilan. Artinya, pasangan yang masih di bawah umur hanya dapat melakukan perkawinan setelah mereka memiliki penetapan dispensasi kawin dari pengadilan.
“Pengadilan saat ini menjadi satu-satunya lembaga yang mendapatkan legitimasi mutlak untuk mendapatkan dispensasi kawin,” kata Sonny.
Kantor Urusan Agama (KUA) akan menolak menyelenggarakan perkawinan bawah umur tanpa ada dispensasi dari pengadilan. Surat penolakan tersebut akan menjadi dokumen untuk mengajukan dispensasi ke pengadilan.
Sonny menyayangkan banyak masyarakat keberatan akan pengajuan dispensasi ini. Dia menyebut tidak jarang pihak mencari alternatif lain dengan melangsungkan perkawinan siri atau bawah tangan.
“Ini yang berbahaya. Fungsi dispensasi kawin adalah menyelamatkan anak dari kemudaratan yang lebih besar,” tegas dia.
Sonny berpendapat dibutuhkan sinergi kuat antar lembaga, akademisi, tokoh masyarakat, hingga media dalam mencegah praktik perkawinan di bawah umur. Perubahan cara pandang terhadap agama, adat, budaya perlu dilakukan untuk meminimalisir praktik tersebut.
“Hal tidak kalah penting adalah penguatan peran orang tua dalam mencegah praktik tersebut,” ujar dia.
Baca juga: Internasional Women's Day, Dosen Unesa: Perempuan Bukan Pelayan, Bukan Second Class |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News