Internasional Women's Day. Google
Internasional Women's Day. Google

Internasional Women's Day, Dosen Unesa: Perempuan Bukan Pelayan, Bukan Second Class

Renatha Swasty • 08 Maret 2023 09:44
Jakarta: Hari Perempuan Sedunia atau International Women's Day (IWD) diperingati setiap 8 Maret. Tahun ini, IWD mengangkat tema #EmbraceEquity atau #RangkulKesetaraan.
 
Seruan tersebut secara tidak langsung mengajak semua pihak menantang stereotip gender, diskriminasi, menarik perhatian pada bias, dan mengupayakan inklusi. Dosen Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Ririe Rengganis mengatakan tema tahun ini sebagai bentuk reaksi masih ditemukannya diskriminasi dan stereotip atas nama gender.
 
Dia menyebut tidak dapat dipungkiri stigma patriarki masih kerap muncul dalam kehidupan masyarakat. Ririe menegaskan perempuan era sekarang patutnya diperlakukan setara sebagai mitra sejajar dalam pikiran maupun tindakan.

Perempuan tidak hanya diberi kesempatan dalam pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan. Tetapi juga diberi kesempatan bebas berpikir dan memilih jalan hidup sendiri tanpa didikte oleh stigma patriarki.
 
“Stigma tersebut telah mengakar jauh di luar kesadaran dalam pola asuh bias gender. Pola asuh yang bias gender ini kemudian diwariskan secara turun temurun dan kembali menempatkan perempuan menjadi makhluk yang diatur oleh stigma,” jelas dia dikutip dari laman unesa.ac.id, Rabu, 8 Maret 2023.
 
Ririe mengatakan bias gender membuat perempuan tidak sepenuhnya merdeka. Meskipun, mereka sudah mengenyam pendidikan tinggi, pekerjaan lebih baik, maupun pergaulan lebih luas.
 
Tetapi, masih dibatasi koridor masyhur bahwa perempuan memiliki beban ganda, yakni berperan di wilayah domestik (dapur-sumur-kasur) dan pada wilayah publik (berkarir).
Beban ganda itu tidak diemban oleh lelaki karena pola asuh masyarakat selama ini telah menempatkan perempuan sebagai pelayan bagi lelaki dalam ranah domestik (berumah tangga).
 
“Semestinya pelayanan (dalam rumah tangga) adalah sebuah tindakan resiprokal yang juga mesti diemban lelaki,” tegas dia.
 
Ririe menyebut kepercayaan diri perempuan mestinya dibentuk oleh pola asuh adil gender. Ketika perempuan terlahir dan diasuh dalam lingkungan bias gender secara umum dia akan tumbuh dalam ketidakpercayaan diri.
Perempuan cenderung menganggap dirinya tidak boleh atau tidak pantas berdiri sejajar dengan lelaki sebagai mitra. Belum lagi, bentukan sosial masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai second class citizen.
 
Ririe menyebut bias gender masih mengakar dalam kehidupan masyarakat. Ini bisa dilihat dari berbagai anggapan yang masih terus didengungkan di antaranya setinggi apa pun perempuan sekolah ujung-ujungnya kembali ke dapur juga. Anggapan seperti ini kerap diberi label agama dan divalidasi sebagai kodrat perempuan.
 
Padahal, kodrat perempuan bersifat biologis yang tidak bisa dipertukarkan dengan laki-laki, seperti menstruasi, melahirkan, dan menyusui. Sementara itu, persoalan peran atau posisi perempuan dan laki-laki di ranah domestik maupun publik bukan kodrat, tetapi konstruksi sosial.
“Sebenarnya seluruh pekerjaan domestik dalam rumah tangga adalah kerja bersama antara dua belah pihak yang memutuskan untuk berumah tangga. Tidak dibebankan pada perempuan saja,” tutur dia.
 
Ririe mengatakan untuk memutus pola asuh atau culture timpang gender yang membuat perempuan menjadi insecure bisa dimulai dengan membuka wawasan baru, membenahi pola pikir serta tindakan nyata.
 
“Perempuan bukan second class. Semoga dengan IWD ini semakin membuka kesadaran kita bersama untuk memahami peran gender yang sebenarnya sehingga tercipta lingkungan saling melengkapi, saling melayani, dan mendukung tanpa stigma, kelas, maupun diskriminasi,” ujar dia.
 
Baca juga: Sekjen PBB: Kesetaraan Gender Tercapai 300 Tahun Lagi!

 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
 

 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan