Pemandangan di salah satu sudut kota Paris, Prancis. Foto: AFP
Pemandangan di salah satu sudut kota Paris, Prancis. Foto: AFP

Mata Pelajaran Sejarah

Peran dan Perjuangan Perempuan Dalam Revolusi Prancis 1789

Medcom • 04 Februari 2022 12:21
Jakarta:  Bagi pecinta film, pasti sudah tak asing dengan One Nation, One King. Film keluaran tahun 2018 ini mengisahkan perjuangan di balik peristiwa Revolusi Prancis 1789.
 
Dalam sejarahnya, tak hanya laki-laki yang memperjuangkan revolusi. Perempuan juga memiliki andil dalam peristiwa ini. Namun, sayangnya peran para srikandi itu jarang tersorot sehingga tak banyak yang mengetahui kisahnya.
 
Dikutip dari laman Zenius, berikut adalah serba-serbi perempuan dalam Revolusi Prancis 1789 yang kerap terlupakan.

Sejarah Peran Perempuan dalam Revolusi Prancis 1789

Pada masa pemerintahan Raja Louis XVI, perempuan hanya dianggap sebagai sosok yang bertugas mengurus perkara rumah tangga. Diskriminasi gender terus menggerus perempuan, sampai-sampai mereka tak diberi hak pilih dalam ranah politik.

Hal ini membuat para wanita bangsawan geram. Akhirnya, mereka mengadakan forum di salon milik Germaine de Staël, anak dari menteri keuangan Jacques Necker. Dalam pertemuan itu, de Staël menggagas ide-ide untuk menuntut hak individu dan pendidikan perempuan.
 
Gagasan tersebut pun lantas diajukan kepada Estate-General, sebuah lembaga wakil rakyat kala itu. Sayangnya, petisi itu tak digubris. Alhasil, perempuan hidup tanpa hak mendasarnya selama bertahun-tahun.
 
Baca juga:  Pakai Artikel Ilmiah, Rizky Putri Amalia Lulus dari Unpad Tanpa Skripsi
 
Waktu terus bergulir, hingga akhirnya Prancis mengalami masalah lain. Raja Louis XVI membuat serangkaian kebijakan yang mencekik rakyat, di antaranya menaikkan pajak dan menaikkan harga roti yang mengakibatkan makanan tersebut menjadi semakin langka.
 
Hal ini lantas membuat para perempuan semakin geram. Akhirnya, sebanyak 6.000 sampai 10.000 orang menyerbu pasar di Paris. Dengan membawa senjata berupa pisau dan pedang, mereka mengambil alih balai kota agar stok roti diperbanyak.
 
Bersamaan dengan hal ini, peristiwa Revolusi Prancis 1789 telah dimulai. Kaum revolusioner ingin menggulingkan rezim Louis XVI yang dinilai suka bertindak sewenang-wenang dengan menduduki balai kota. 
 
Ketika kaum revolusioner bertemu dengan para demonstran, mereka menyarankan untuk pergi ke istana raja di Versailles. Sebab, tempat tersebut merupakan persembunyian Louis XVI sekeluarga.
 
 

 
Usai berjalan kaki selama enam jam, para demonstran berhasil menemui Louis XVI yang tengah bersembunyi bersama keluarganya. Mereka menuntut sang raja untuk bertanggung jawab atas kelangkaan komoditas pangan.
 
Raja pun memberi makanan dari toko kerajaan dan berjanji akan memberi lebih banyak untuk ke depannya.  Mendengar perkataan manis sang raja, sebagian demonstran pun pulang. Namun, sebagian lainnya menetap di istana lantaran tak percaya dengan janji tersebut.
 
Emosi mereka justru semakin menggebu-gebu. Mereka lantas menyerbu istana dan mencari sang ratu yang dianggap suka berfoya-foya menggunakan uang rakyat.  Untungnya, Garda Nasional berhasil meredam kerusuhan sebelum demonstran berhasil menemui ratu dan membunuhnya.
 
Melihat adanya potensi pertumpahan darah ini, Louis XVI pun memutuskan untuk kembali ke Paris.  Aksi inilah yang dikenal dengan Pawai Wanita dalam Revolusi Prancis 1789. Para srikandi itu berhasil membuat raja kembali ke ibu kota Prancis dan menghadapi protes rakyat.

Sosok Perempuan di Era Revolusi Prancis 1789 dan Pengaruhnya

Pawai Wanita Revolusi Prancis 1789 menjadi ujung tombak bagi perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Ada beberapa tokoh penting yang memiliki andil besar dalam sejarah, antara lain:
 
1. Sophie de Condorcet dan Cercle Social
 
Sophie de Condorcet menjadi srikandi pertama yang memperjuangkan hak politik perempuan usai peristiwa Revolusi Prancis 1789 berlangsung.
 
Bersama suaminya, Marquis de Condorcet, dia menulis artikel berjudul “Sur l’admission des femmes au droit de cite” pada tahun 1790. Dalam tulisan tersebut, Sophie mendeklarasikan bahwa perempuan harus menikmati hak politik yang sama dengan laki-laki.
 
Sophie juga menantang para revolusioner yang patriarki dan kerap menganggap perempuan tidak rasional.  Artikel ini lantas menjadi buah bibir di Prancis kala itu. Hingga akhirnya, tulisan ini menjadi inspirasi bagi sekelompok perempuan untuk membuat Cercle Social, klub politik yang mengampanyekan hak-hak perempuan.
 
Klub ini menuntut pemerintah untuk memberi kesempatan pada perempuan agar dapat mengajukan perceraian. Selain itu, mereka juga meminta kesetaraan dalam penerimaan warisan bagi wanita. Kabar baiknya, tuntutan tersebut dikabulkan oleh Majelis Nasional Prancis pada Agustus 1970.
 
 

 
2. Olympe de Gouges
Meski peran perempuan sudah mengalami kemajuan dalam hukum keluarga, sayangnya mereka masih belum diberi hak berpolitik. Inilah yang membuat Olympe de Gouges menerbitkan tulisan bertajuk “Deklarasi Hak Perempuan dan Warga Negara” pada 1791.
 
Tulisan ini merupakan tanggapan atas “Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara” yang diterbitkan oleh Majelis Nasional Prancis dua tahun sebelumnya. Tulisan Gouges menyatakan bahwa perempuan memiliki penalaran yang setara dengan laki-laki.
 
Nahas, deklarasi tersebut membuat Gouges ditangkap dan dihukum penggal pada tahun 1793.
 
3. Pauline Léon
Tewasnya Gouges tak menyurutkan semangat para perempuan. Justru, semakin banyak klub wanita yang didirikan. Hingga tahun 1793, terdapat 56 klub politik perempuan.
 
Salah satunya yang paling tersohor adalah Society of Revolutionary Republican Women. Klub yang digagas oleh Pauline Léon ini sempat beekrja sama dengan kritikus pemerintah untuk memprotes harga pangan yang kembali naik.
 
Hal ini membuat pemerintah revolusioner prancis yang dipimpin oleh Maximilien Robespierre geram. Imbasnya, pemerintah resmi melarang klub perempuan pada 30 Oktober 1793.

Nasib Hak Perempuan selama Revolusi Prancis

Ketika Robespierre turun dari jabatannya, harga makanan makin naik. Perempuan pun bergerak kembali dengan mengajak para lelaki untuk menyerbu majelis rakyat Prancis, Konvensi Nasional.
 
Pemberontakkan pun tak terelakkan. Pada 20-23 Mei 1795, pertumpahan darah terjadi hingga menewaskan beberapa pejabat. Sejak saat itu, perempuan semakin dilarang untuk datang ke pertemuan politik. 
 
Peran perempuan di kancah publik pun semakin terdegradasi. Hak-hak perempuan mengalami kemunduran yang signifikan. Hinga akhirnya mencapai titik di mana perempuan kembali dianggap sebagai sosok yang hanya mengurus perihal rumah tangga.
 
Namun, sedikit demi sedikit, perjuangan terus dilakukan. Alhasil, pada tahun 1944, perempuan berhasil memperoleh hak pilihnya yang termaktub dalam undang-undang. (Nurisma Rahmatika)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan