Usai berjalan kaki selama enam jam, para demonstran berhasil menemui Louis XVI yang tengah bersembunyi bersama keluarganya. Mereka menuntut sang raja untuk bertanggung jawab atas kelangkaan komoditas pangan.
Raja pun memberi makanan dari toko kerajaan dan berjanji akan memberi lebih banyak untuk ke depannya. Mendengar perkataan manis sang raja, sebagian demonstran pun pulang. Namun, sebagian lainnya menetap di istana lantaran tak percaya dengan janji tersebut.
Emosi mereka justru semakin menggebu-gebu. Mereka lantas menyerbu istana dan mencari sang ratu yang dianggap suka berfoya-foya menggunakan uang rakyat. Untungnya, Garda Nasional berhasil meredam kerusuhan sebelum demonstran berhasil menemui ratu dan membunuhnya.
Melihat adanya potensi pertumpahan darah ini, Louis XVI pun memutuskan untuk kembali ke Paris. Aksi inilah yang dikenal dengan Pawai Wanita dalam Revolusi Prancis 1789. Para srikandi itu berhasil membuat raja kembali ke ibu kota Prancis dan menghadapi protes rakyat.
Sosok Perempuan di Era Revolusi Prancis 1789 dan Pengaruhnya
Pawai Wanita Revolusi Prancis 1789 menjadi ujung tombak bagi perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Ada beberapa tokoh penting yang memiliki andil besar dalam sejarah, antara lain:1. Sophie de Condorcet dan Cercle Social
Sophie de Condorcet menjadi srikandi pertama yang memperjuangkan hak politik perempuan usai peristiwa Revolusi Prancis 1789 berlangsung.
Bersama suaminya, Marquis de Condorcet, dia menulis artikel berjudul “Sur l’admission des femmes au droit de cite” pada tahun 1790. Dalam tulisan tersebut, Sophie mendeklarasikan bahwa perempuan harus menikmati hak politik yang sama dengan laki-laki.
Sophie juga menantang para revolusioner yang patriarki dan kerap menganggap perempuan tidak rasional. Artikel ini lantas menjadi buah bibir di Prancis kala itu. Hingga akhirnya, tulisan ini menjadi inspirasi bagi sekelompok perempuan untuk membuat Cercle Social, klub politik yang mengampanyekan hak-hak perempuan.
Klub ini menuntut pemerintah untuk memberi kesempatan pada perempuan agar dapat mengajukan perceraian. Selain itu, mereka juga meminta kesetaraan dalam penerimaan warisan bagi wanita. Kabar baiknya, tuntutan tersebut dikabulkan oleh Majelis Nasional Prancis pada Agustus 1970.