Camaba UGM Made Emilia Cahyati. DOK UGM
Camaba UGM Made Emilia Cahyati. DOK UGM

Cerita Emil Anak Transmigran di Mamuju Tengah Kuliah Gratis di UGM, Siswa Pertama di Sekolahnya

Renatha Swasty • 22 Juli 2024 17:08
Jakarta: Made Emilia Cahyati, 18, masih tak percaya diterima di program studi Ilmu dan Industri Peternakan, Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM) lewat Jalur Seleksi Nasional Berdasarkan  Prestasi (SNBP) 2024. Emil merupakan siswa pertama SMA 1 Pangale, Kabupaten Mamuju Tengah yang diterima kuliah di kampus UGM.
 
"'Emil, yakin mau ambil UGM?'”, 'Saya yakin Bu'," kenang Emil meski dalam hatinya tidak percaya diri dikutip dari laman ugm.ac.id, Senin, 22 Juli 2024.
 
Emil meyakinkan dirinya memilih kuliah di UGM karena sejak bangku sekolah dasar hingga bangku SMP dan SMA tidak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah Favorit. Bahkan, jarak sekolah SMA dari rumahnya ditempuh hingga 45 menit naik kendaraan roda dua melewati area kebun sawit.

“Saya bergantian dengan teman setiap tiga hari sekali gantian bawa motor, patungan bensin,” kenang Emil.
 
Pernah sesekali ban bocor, Emil dan temannya terpaksa datang terlambat sampai ke sekolah. Apabila ban bocor di jalan, ia menunggu teman satu sekolah lainnya yang melintas untuk membantu mendorong atau menelepon ayahnya untuk menjemput.
 
Selama di bangku sekolah, Emil langganan juara kelas masuk rata-rata tiga besar. Ketertarikannya pada pelajaran matematika dan sastra mendorongnya mengikuti berbagai perlombaan dan sering berhasil menjadi juara.
 
Emil pernah mendapat juara 1 bidang matematika pada lomba Olimpiade Sains Nasional Tingkat Mamuju pada April 2023 se-Sulawesi Barat. Selain itu, ia juga pernah meraih juara 1 bidang lomba menulis cerpen pada Festival Lomba Siswa Nasional (FLS2N) jenjang SMA tingkat Kabupaten Mamuju Tengah.
 
Di tingkat nasional, Emil juga pernah lolos lomba Utsawa Dharmagita Agama Hindu tahun 2021 yang diselenggarakan Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu Kemenag RI untuk kategori remaja. Lalu di 2024, ia kembali lolos di ajang yang sama yang diselenggarakan di Solo, Jawa Tengah.
 
Meski tinggal di kawasan Transmigran, tidak menyulutkan langkah Emil mengenyam kuliah di kampus UGM. Berbagai cara ia lakukan untuk bisa masuk UGM tanpa tes dengan mengikuti berbagai perlombaan.
 
“Dari awal memang saya sudah niat mau masuk UGM karena Yogyakarta terkenal dengan pendidikannya. Dulu saja sekolah SMP saya termasuk daerah 3T. Lalu SMA saya tidak masuk daftar ranking 1000 SMA terbaik di Indonesia, paling tidak saya bisa masuk ke kampus favorit,” kata dia.
 
Upaya Emil terbayar. Tidak hanya lolos masuk UGM tanpa tes, Emil juga mendapat beasiswa UKT pendidikan Unggul Bersubsidi sebesar 100 persen atau biaya kuliah gratis dari UGM.

Dukungan penuh orang tua

Emil beruntung mendapat dukungan penuh dari orang tuanya. Ayahnya, I Kadek Somadana, 44, dan Ni Luh Ernawati, 40, merupakan transmigran yang kini tinggal di Desa Tommo 1, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.  
 
Desa ini berada di area kawasan Transmigrasi yang berada sekitar 84 kilometer dari Kota Mamuju. Keduanya mengelola lahan sawit seluas kurang lebih satu hektare yang jaraknya hanya 50 meter dari rumahnya.
 
Di desa ini hampir semua keluarga transmigran bertanam sawit setelah padi tidak lagi cocok untuk ditanam di bekas rawa yang sudah mengering. Kadek mengolah lahan sawit milik ayahnya.
 
Selama hampir 15 tahun, keluarga Kadek menggantungkan penghasilan dari hasil panen kebun sawit. Setiap dua minggu sekali, Kadek bisa panen sekitar 4-5 kuintal buah sawit. Satu kilogram buah sawit dijual Rp2.000 ke pengepul.
 
“Rata-rata setiap bulan dapat sekitar Rp2 juta,” beber Kadek.
 
Uang dari penghasilan ini digunakan Kadek untuk menghidupi tiga orang anaknya dan kedua orang tuanya yang tinggal serumah dengannya. Sambil menunggu panen sawit, Kadek juga bekerja serabutan bila ada tetangga yang mengajaknya menjadi buruh harian lepas.
 
Ada juga tetangga yang mengajaknya untuk mengangkut hasil panen sawit atau mengolah bibit kebun sawit. Kebetulan, Kadek pernah 10 tahun bekerja sebagai mandor di perusahaan sawit Astra mengurusi plasma nutfah.
 
Meski dari kecil dan besar hidup di wilayah transmigran, Kadek memiliki tekad kuat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi.
 
Sang kakek, Made Yarnita, 69, juga sumringah melihat sang cucu melanjutkan kuliah di kampus UGM. Meski, ia tak tahu banyak soal pendidikan.
 
Namun, Yarnita ingat persis pada 1983, ia mengajak istri dan anaknya baru satu, Kadek umur 3 tahun, berangkat naik kapal dari Buleleng, Bali merantau ke Mamuju sebagai transmigran bersama ratusan kepala keluarga lainnya.
 
Mendaftar sebagai transmigran, menjadi satu-satunya pilihan bagi Yarnita untuk mengubah masa depan keluarganya. Di Buleleng, kenangnya, ia tidak punya tanah untuk digarap dan sehari-hari bekerja sebagai buruh tukang kayu.
 
Sesampainya di Tommo, Yarnita hanya diberi rumah papan seluas  5x7 meter. Jalan masih berupa tanah liat, belum ada listrik dan di sekitar pekarangan masih dikelilingi hutan dan rawa.
 
Berangsur-angsur, warga transmigran menebang pohon, lalu mengolah lahan untuk menanam padi dan sesekali menjadi tenaga serabutan di desa lain. Kini, bekas papan rumah tersebut masih tersimpan rapi di depan rumah anaknya.
 
Yarnita sengaja tidak ingin menjualnya, sebagai kenangan rumah itulah tanda perjuangannya untuk mengubah nasib supaya anak dan cucunya tahu awal kehidupan para transmigran di masa lalu.
 
Baca juga: Lolos SNBP di UGM dan Raih UKT Rp 0, Ini Kisah Syifa Anak Buruh Tani Sumbar

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan