“Katakanlah rektornya dari asing, dengan akal sehat pasti dia tidak akan mau kalau anggaran penelitiannya cuma sekitar Rp100 Miliar, terlalu sedikit buat mereka. Pasti mereka akan meminta dana penelitian dari APBN yang agak ‘wajar’ menurut mereka. Tapi apakah pemerintah nanti mampu memenuhinya,” kata Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Joni Hermana saat dihubungi Medcom.id, Rabu, 24 Juli 2019.
Mendatangkan rektor asing, bukan hanya memikirkan beban gajinya saja. Tentu anggaran penelitian yang dialokasikan berbeda dengan anggaran penelitian rektor dan dosen dalam negeri.
“Itu baru dari satu sisi penelitian, belum lagi dana yang diperlukan untuk pengembangan proses belajar-mengajar yang sesuai dengan standar Internasional. Siapkah pemerintah kita memehuni tuntutan mereka,” jelas mantan rektor ITS ini.
Baca: Nasir Sisir Regulasi Penghalang Masuknya Rektor Asing
Tentu membengkaknya anggaran tidak bisa dipenuhi dari APBN. Bukan berarti anggaran yang membengkak dibebankan lewat Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa. Karena PTN diwajibkan untuk meluangkan kuota 20 persen untuk mahasiswa yang tak mampu.
“PTN tidak bisa secara semena-mena menaikkan UKT mahasiswa karena PTN pada prinsipnya juga memiliki fungsi pelayanan yang harus dapat menampung semua lapisan masyarakat,” ujarnya.
Menteri Riset Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, segera mencabut beberapa peraturan yang menjadi penghalang bagi perguruan tinggi Indonesia mendatangkan rektor asing. Kebijakan itu diambil karena Presiden Joko Widodo berkeinginan rektor asing bisa diberi kesempatan memimpin perguruan tinggi di Indonesia pada 2020.
"Saya akan mapping-kan dulu. Saya akan cabut beberapa peraturan dan Pemerintah juga akan sederhanakan. Supaya bisa memberi kesempatan rektor bisa masuk dari luar negeri," kata Nasir, Semarang, Jawa Tengah, Senin, 22 Juli 2019.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News