Menurut dia, jika dipaksakan dan sering terjadi amandemen, kurang baik bagi kelangsungan bernegara. Ia mengatakan, setiap negara yang terlalu sering mengubah konstitusinya akan mengakibatkan negara tersebut tidak akan pernah stabil, baik dalam sisi hukum maupun politik.
"Hal ini disebabkan karena fondasi dasar negara itu sering diubah-ubah maka bangunan negara itu selalu akan bergeser. Padahal, untuk dapat stabil diperlukan waktu yang panjang," kata Andi mengutip siaran pers UGM, Senin, 30 Agustus 2021.
Dosen Fakultas Hukum UGM ini menyatakan, secara filosofis, UUD 1945 merupakan kontrak dasar hubungan antara yang diperintah dan yang memerintah, serta antar para pemegang kekuasaan negara. UUD merupakan kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan negara, bukan untuk kepentingan waktu sesaat.
"Jika UUD diubah hanya untuk memenuhi hasrat sesaat, pasti UUD akan detail dan tidak long lasting," ujarnya.
Baca: Guru Besar Unpad: Pembangunan Masyarakat Harus Berbasis Riset
Andi mencontohkan pengalaman Carlos Menem di Argentina. Carlos berhasil mengubah UUD untuk melanggengkan kekuasaannya selama tiga periode, tetapi tetap saja akhirnya terjadi kekacauan. "Kemudian UUD Argentina diubah lagi dengan mengembalikan ke posisi semula," paparnya.
Menurutnya, konstruksi amendemen UUD 1945 sekarang ini memang lebih condong dikuasai oleh partai politik, khususnya berkaitan dengan keputusan akhir melakukan amendemen. Mekanismenya, lembaga negara atau alat negara manapun dapat mengajukan permintaan amendemen UUD kepada MPR.
MPR akan menelaah dan diputuskan dalam rapat paripurna MPR. Padahal, MPR beranggotakan anggota DPR dan anggota DPD. "Jika kemudian seluruh anggota DPR yang semuanya berasal dari parpol menyetujuinya maka proses amendemen pasti terjadi," kata Andi.
Menurutnya, dari aspek hukum tata negara, tidak ada hal mendesak untuk dilakukan amendemen saat ini. Namun, dari aspek politik menurutnya bisa saja kemungkinan terjadi. "Hanya saja sampai saat ini saya tidak tahu hal apa yang mendesak dari sisi politik," ujarnya.
Baca: Epidemiolog UI Dorong Pemerintah Bentuk Departemen Percepatan Pengendalian Penyakit
Andi Sandi juga sempat menyinggung terkait isu akan dikembalikannya haluan tentang penyelenggaraan negara melalui Pokok-Pokok Haluan Negara seperti aturan GBHN yang pernah ada di era zaman Orde Baru. Menurutnya, aturan ini bertentangan konsep pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden.
Sebab, jika pemerintah melaksanakan program kerja yang ditentukan oleh MPR berarti Indonesia termasuk ke dalam negara parlementer. Walaupun MPR tidak bisa sepenuhnya dikategorikan sebagai parlemen.
"Bukankah rakyat memilih seseorang menjadi presiden lebih didasarkan pada preferensi program kerja yang ditawarkan dalam kampanye seorang calon presiden sehingga ketika terpilih, program kerja itulah yang harus diimplementasikan. Oleh karenanya, tidak bisa diadopsi secara bersamaan dalam UUD 1945. Harus dipilih salah satu," ungkapnya.
Hai Sobat Medcom, terima kasih sudah menjadikan Medcom.id sebagai referensi terbaikmu. Kami ingin lebih mengenali kebutuhanmu. Bantu kami mengisi angket ini yuk https://tinyurl.com/MedcomSurvey2021 dan dapatkan saldo Go-Pay/Ovo @Rp 50 ribu untuk 20 pemberi masukan paling berkesan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News