Selama ini, besaran angagran pendidikan sebesar 20 persen mengacu pada belanja negara. Sri Mulyani mengusulkan agar diubah menjadi mengacu pada pendapatan negara bukan belanja negara.
Ubaid menilai usulan ini potensial akan memperburuk kualitas pendidikan dan memperparah kesenjangan layanan pendidikan. Selain itu, dampak langsung bila usulan ini disetujui, porsi besaran anggaran pendidikan dalam APBN akan menciut.
Kondisi saat ini, defisit anggaran dalam RAPBN 2025 telah ditetapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo sebesar Rp616,18 triliun atau 2,53 persen dari produk domestik bruto (PDB). Beberapa kalangan menganggap defisit ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah transisi masa pemerintahan.
“Berkaca pada pola keuangan negara yang defisit, maka dapat disimpulkan, besaran pendapatan negara pasti lebih kecil dibanding dengan komponen belanja. Jadi, kalau pendapatan yang dijadian acuan, nasib besaran porsi anggaran pendidikan nasional kian mengenaskan, karena juga akan ikut merosot,” kata Ubaid dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Jumat, 6 September 2024.
JPPI menolak rencana pemerintah menyunat besaran anggaran pendidikan melalui perubahan acuan penentuan besaran alokasi anggaran pendidikan melalui pendapatan negara. Ubaid memaparkan penolakan ini didasarkan pada tiga alasan yang mendasar.
Pertama, pemerintah dinilai melarikan diri dari kewajiban konstiusional. Dalam UUD 1945 Pasal 31 disebutkan pemerintah berkewajiban membiayai pendidikan dan memperioritaskan alokasi anggaran minial 20 persen yang bersumber dari APBN dan APBD.
"Jadi yang dijadikan acuan adalah pendapatan dan pengeluaran, bukan hanya pendapatan," tegas Ubaid.
Dia menuturkan apabila hanya mengacu pada pendapatan, jelas akan mengurangi besaran anggaran pendidikan dan dampaknya akan memperburuk kualitas pendidikan karena dukungan anggaran pendidikan mengecil. “Kalau mau dianggap konstitusional, ya amandemen dulu UUD 1945 supaya bunyi ayat-ayatnya sama dengan usulan dan kehendak pemerintah. Kan konyol ini,” kata Ubaid.
Kedua, pemerintah dinilai sibuk dengan angka 20 persen namun lupa apa saja dan berapa kebutuhan pendidikan. Dia mengatakan ketimbang memperdebatkan soal acuan pendapatan atau belanja, sebaiknya lebih produktif bila wacananya adalah menghitung kebutuhan biaya pendididkan.
“Ini penting agar anggaran pendidikan itu tepat sasaran. Jangan seperti saat ini, entah anggaran pendidikan itu siapa yang menikmati. Masyarakat hanya merasakan biaya sekolah semakin hari semakin mahal, apalagi biaya UKT kuliah semakin tak terjangkau oleh semua kalangan. Ditambah lagi nasib guru honorer, sungguh sangat memperihatinkan,” ujar Ubaid.
Dia menegaskan bila bicara soal mandatory spending, tapi tidak tahu kebutuhannya apa dan berapa, sama saja bohong. Setelah mengetahu kebutuan untuk sektor pendidikan, baru bisa dihitung dalam kerangka APBN dan APBD.
“Saya yakin kebutuhan dana pendidikan tak akan kurang dari 20 persen dari APBN dan APBD. Jadi, ketika anggaran pendidikan sudah tepat sasaran, secara otomatis pemerintah sudah melaksanakan amanah konstitusi dan pendidikan akan jauh lebih berkualitas dan berkeadilan bagi semua,” ujar Ubaid.
Ketiga, Ubaid mengatakan serapan buruk bukan karena anggaran kebesaran, tapi buruknya kualitas program dan lemahnya implementasi di lapangan. Salah satu alasan Menteri Keuangan untuk memperkecil anggaran pendidikan adalah problem serapan yang buruk.
Apabila ini yang dijadikan alasan pengurangan anggaran pendidikan, jelas salah alamat. Ubaid menyebut bila serapan anggaran pendidikan 4 tahun lalu dianggap buruk, pengelola programnya harus dievaluasi. Sebab, pemerintahan periode sebelumnya, tidak mengalami hal yang serupa.
“Maka, harus dievaluasi, mengapa ini bisa terjadi, bukan malah besaran anggarannya yang dilucuti," kata Ubaid.
Dia mendorong pengelola anggaran, bentuk program, mekanisme pengelolaan, dan hal lain yang terkait langsung diaudit. Sehingga, serapan anggaran pendidikan yang buruk, tidak bisa dijadikan alasan untuk mengamputasi hak anak mendapatkan dukungan dana dari pemerintah untuk penuntasan pendidikan dari jenjang dasar sampai perguruan tinggi.
Baca juga: Bambang Brodjonegoro Ungkap Ada Anggaran Pendidikan Mengalir ke Kegiatan Tak Jelas |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News