Lalu, bagaimana sebenarnya gempa bumi bisa terjadi? Yuk, simak penjelasan yang dilansir dari laman Ditjen SMP berikut ini.
Gempa bumi disebabkan pergerakan lempeng Bumi yang memberikan efek getaran pada permukaan bumi. Ketika terdapat gaya yang cukup besar yang berasal dari pergerakan lempeng, maka batuan di lempeng akan menegang.
Akibatnya lempeng bumi dapat berubah bentuk. Bahkan lempeng dapat patah atau kembali ke bentuk semula jika gaya tersebut hilang. Batuan pada lempeng mengalami perubahan bentuk atau deformasi secara perlahan dalam jangka waktu tertentu.
Ketika batuan tersebut mengeras atau menegang maka energi potensialnya terus bertambah. Ketika lempeng bergerak atau patah, maka energi tersebut dilepaskan. Energi tersebut mengakibatkan terjadinya getaran yang merambat melalui material bumi lainnya.
Semakin besar energi yang dilepaskan, maka getarannya akan semakin terasa. Ketika lempeng patah menjadi dua bagian, maka masing-masing bagian akan bergerak menjauh.
Daerah lempeng yang patah tersebut dinamakan (patahan/sesar). Sedangkan gelombang yang merambat sepanjang permukaan bumi dan gelombang gempa bumi disebut gelombang seismik.
Sebuah titik pada kedalaman bumi yang menjadi pusat gempa disebut hiposentrum. Permukaan bumi yang berada di atas hiposentrum disebut episentrum.
Kekuatan gempa (magnitude) pada sebuah daerah dinyatakan dengan skala richter. Pengukuran kekuatan gempa didasarkan pada amplitudo atau grafik gelombang seismik di seismogram.
Skala Richter menunjukkan besarnya energi gempa yang dilepaskan. Berdasarkan gempa yang terjadi sampai saat ini, rentang skala richter antara 1,0 – 10,0. Setiap kenaikan 1,0 skala, energi gempa yang dihasilkan 32 kali lebih besar.
Nah, begitulah proses terjadinya gempa bumi. Semoga informasi ini bermanfaat bagi Sobat Medcom.
Baca juga: Fosfolipid, Sel yang Takut Sekaligus Suka Air: Simak Pengertian, Fungsi, dan Sifatnya |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News